Usulan dari Dokter untuk JKN yang Lebih Baik
Kita semua sebagai peserta JKN tentu menginginkan yang terbaik, bukan? Jika mengikuti perkembangan berita, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Tahun ini saja, mereka mendapat anggaran tambahan sebesar 5 triliun rupiah, salah satunya disebabkan oleh inefisiensi akibat sistem yang masih buruk. Masa depan pelayanan kesehatan di Indonesia sangat bergantung pada seberapa baik JKN dijalankan, dan itu terkait erat dengan peran BPJS Kesehatan.
Artinya, BPJS harus memiliki anggaran yang cukup, fasilitas kesehatan (faskes) dan tenaga kesehatan (nakes) harus siap dan bersedia bekerja sama, dan sistem yang ada harus memungkinkan pelayanan kesehatan yang baik dan profesional. Namun, dengan aturan yang ketat, kebijakan yang tidak masuk akal, serta tarif yang jauh di bawah standar ekonomi seperti sekarang, faskes justru dipaksa untuk mencari cara agar tetap bertahan.
Percayalah, jika anggaran masih terbatas, sistemnya kacau, dan tidak ada perbaikan yang signifikan, pelayanan kesehatan di Indonesia akan tetap buruk. Penyakit yang ada kemungkinan besar akan terlewat atau tidak tertangani dengan baik. Ujung-ujungnya, bukan hanya pengguna yang dirugikan, tapi BPJS juga yang harus menanggung akibatnya.
Berikut beberapa solusi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Dokter Indonesia Bersatu (DIB) untuk memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia, seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah menghapus pajak untuk alat kesehatan dan obat. Berikut adalah kutipan dari Dr. Erta Priadi Wirawijaya:
"Dulu saya pernah ditanya istri seorang pasien kenapa harga sebuah stent / ring jantung yang harus dipasang di jantung suaminya mahal sekali. Harga 1 stent yang dilapisi obat (DES) di Indonesia mencapai 25 juta rupiah. Saat itu saya bilang: "Maaf bu, produknya canggih, kita belum bisa buat sendiri dan harus di Impor, jadi harganya mahal."
Pada suatu kesempatan lain saya pernah tanya ke distributor alatnya berapa bea masuk stent jantung ini? Jawabnya: "Sekitar 30%". Berapa pajak penjualannya? Jawabnya: "10%". Berapa ambil untungnya? Jawabnya: "RAHASIA"
Hal yang sama berlaku untuk mesin X-Ray / Ronsen, CT-Scan, MRI, Mesin Cathlab, Mesin pemeriksaan Laboratorium, Reagen yang digunakan untuk pemeriksaan lab, dan beragam alat medis lainnya yang semuanya masih di impor. Tanpa pajak, harganya bisa 40% lebih murah. Pada akhirnya siapa yang harus menanggung ini semua? Bukan RS, bukan dokter, tapi konsumen yaitu orang sakit yang bisa jadi sedang meregang nyawa. Patutkah hal tersebut terjadi?
Jadi ketika ada yang bilang berobat ke penang Malaysia jauh lebih murah hampir setengahnya dibandingkan bila berobat di Indonesia saya sih percaya saja. Karena disana orang sakit tidak harus turut membayar pajak yang teramat besar untuk bisa hidup."
Kesimpulan
Untuk memahami lebih dalam tentang masalah yang ada pada sistem kesehatan, sebenarnya cukup mudah. Kita bisa langsung berdiskusi dengan dokter yang sehari-harinya terlibat dalam pelayanan kesehatan, untuk mengetahui permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu, mengingat BPJS Kesehatan diwajibkan untuk seluruh rakyat Indonesia, sebaiknya pejabat, wakil rakyat, dan presiden juga ikut serta menggunakan kartu BPJS ketika berobat, dan tidak diperbolehkan menggunakan asuransi kesehatan lainnya. Hal ini akan memberikan contoh yang baik dan mendorong perbaikan dalam sistem yang ada.
obat dan alat kesehatan itu ada pajakny juga ya.
BalasHapusyang saya inginkan sih kesehatan terjamin sama yang membantu menjaga kesehatannya juga kudu terjamin.