Sudah Divaksin Kenapa Masih Sakit?
"Si A anaknya sudah divaksin tapi tetap saja kena penyakit, parah lagi, lebih parah daripada anakku yang tidak divaksin. Nah, kalau begitu buat apa divaksin, mendingan bla..bla..bla..”
Berikut ini kira-kira jawabanya:
Semua ahli kesehatan sepakat bahwa vaksin memang tidak 100 persen efektif, dan berapa persen efektifitasnya juga tergantung jenis vaksinnya.
Secara teori, dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada sebagian kecil masyarakat, meski sudah di vaksin, rupanya pada sebagian kecil orang-orang ini memang tidak terbentuk kekebalan, contohnya pada vaksinasi campak, 1 persen anak-anak yang sudah diimunisasi 2 kali booster, ternyata hasil imunisasinya tidak berpengaruh, kekebalan sama sekali tidak terbentuk.
Sebabnya apa? Umumnya tidak diketahui. Begitu juga pada sebagian kecil orang yang diimunisasi hepatitis B, sebagian kecil orang juga tidak terbentuk kekebalan terhadap penyakitnya meski sudah divaksin.
Namun pada imunisasi hepatitis B ini diduga penyebabnya adalah kekurangan salah satu protein (namanya MHC) dalam tubuh orang tersebut yang diperlukan agar si vaksin bisa bekerja untuk membuat kekebalan.
Intinya, kalau bicara ilmiah (di bold ilmiah nya, karena artinya kita sepakat menggunakan jalur ilmiah, bukan jalur-jalur lain, harus sepakat dulu supaya tidak debat kusir), kita memang harus sangat hati-hati untuk tidak menggeneralisir kasus.
Kasus-kasus testimoni diatas sangat menarik memang, tapi bukan berarti lalu digeneralisir bahwa seluruh vaksin tidak bekerja pada seluruh anak bukan?
Begitu juga sebaliknya vaksin memang manfaatnya lebih banyak, tapi bukan lalu kita cinta mati dan buta dengan vaksin.
Harus dilihat kasus per kasus dan per jenis vaksin, karena itu sebagai orang tua kita memang tidak bisa berhenti belajar.
Contohnya vaksin typhoid, ada dua jenis Vi yang injeksi biasanya boleh untuk anak di atas 2 tahun, namun efektifitasnya "hanya" 55-77 %, itu pun harus dibooster setiap 2 tahun sekali.
Karena itu menurut sebagian ahli kesehatan, vaksin untuk daerah endemis seperti di Indonesia efektif kalau dijadikan program nasional karena factor herd immunitynya, tapi kalau belum dijadikan program nasional, masih per individu di swasta akhirnya keputusan diserahkan pada orang tua masing-masing karena menyangkut soal diatas plus biaya juga.
sumber: Agnes Tri Harjaningrum
Berikut ini kira-kira jawabanya:
Semua ahli kesehatan sepakat bahwa vaksin memang tidak 100 persen efektif, dan berapa persen efektifitasnya juga tergantung jenis vaksinnya.
Secara teori, dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada sebagian kecil masyarakat, meski sudah di vaksin, rupanya pada sebagian kecil orang-orang ini memang tidak terbentuk kekebalan, contohnya pada vaksinasi campak, 1 persen anak-anak yang sudah diimunisasi 2 kali booster, ternyata hasil imunisasinya tidak berpengaruh, kekebalan sama sekali tidak terbentuk.
Sebabnya apa? Umumnya tidak diketahui. Begitu juga pada sebagian kecil orang yang diimunisasi hepatitis B, sebagian kecil orang juga tidak terbentuk kekebalan terhadap penyakitnya meski sudah divaksin.
Namun pada imunisasi hepatitis B ini diduga penyebabnya adalah kekurangan salah satu protein (namanya MHC) dalam tubuh orang tersebut yang diperlukan agar si vaksin bisa bekerja untuk membuat kekebalan.
Intinya, kalau bicara ilmiah (di bold ilmiah nya, karena artinya kita sepakat menggunakan jalur ilmiah, bukan jalur-jalur lain, harus sepakat dulu supaya tidak debat kusir), kita memang harus sangat hati-hati untuk tidak menggeneralisir kasus.
Kasus-kasus testimoni diatas sangat menarik memang, tapi bukan berarti lalu digeneralisir bahwa seluruh vaksin tidak bekerja pada seluruh anak bukan?
Begitu juga sebaliknya vaksin memang manfaatnya lebih banyak, tapi bukan lalu kita cinta mati dan buta dengan vaksin.
Harus dilihat kasus per kasus dan per jenis vaksin, karena itu sebagai orang tua kita memang tidak bisa berhenti belajar.
Contohnya vaksin typhoid, ada dua jenis Vi yang injeksi biasanya boleh untuk anak di atas 2 tahun, namun efektifitasnya "hanya" 55-77 %, itu pun harus dibooster setiap 2 tahun sekali.
Karena itu menurut sebagian ahli kesehatan, vaksin untuk daerah endemis seperti di Indonesia efektif kalau dijadikan program nasional karena factor herd immunitynya, tapi kalau belum dijadikan program nasional, masih per individu di swasta akhirnya keputusan diserahkan pada orang tua masing-masing karena menyangkut soal diatas plus biaya juga.
sumber: Agnes Tri Harjaningrum
kadang memang begitu gan kalau kita menjelaskan sama orang yang memang tidak mau mengerti...(bukan tidak mengerti lo ya). intinya mereka malas untuk mengerti, padahal simple dan itu penting untuk kesehatan anak. kalau istri saya malah kalang kabut kalau anak saya gak lengkap imunisasinya....atau gak dapat vaksin gratis gitu, kadang sampai didatanginya rumah sakitnya....hahahaaa...saya kadang jdi ketawa sendiri...yah namanya juga orang tua, tentunya maunya anaknya sehat semua
BalasHapus