Anemia pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis
Anemia sering kali dimulai pada tahap awal penyakit ginjal kronis dan semakin memburuk seiring dengan penurunan fungsi ginjal. Jika tidak segera diobati, anemia bisa mengurangi kualitas hidup seseorang. Dalam kasus yang lebih parah, penderita anemia berat bahkan mungkin tidak memiliki cukup tenaga untuk keluar dari tempat tidur. Selain itu, anemia juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan bahkan kematian.
Hubungan antara Penyakit Ginjal dan Anemia
Selain berfungsi untuk menyaring darah, ginjal juga memiliki tugas lain yang sangat penting, yaitu memproduksi hormon eritropoietin (EPO). Hormon ini memberi instruksi kepada sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Namun, ketika seseorang mengalami penyakit ginjal, ginjal tidak dapat menghasilkan cukup eritropoietin. Akibatnya, produksi sel darah merah pun menurun, yang mengarah pada kondisi anemia.
Sel darah merah bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh, termasuk organ dan jaringan. Ketika jaringan tidak menerima cukup oksigen, seseorang akan merasa sangat lelah dan mungkin kesulitan untuk berpikir atau merasa melamun. Dengan mengatasi anemia, kebanyakan orang yang menderita penyakit ginjal dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik karena mereka tidak lagi harus bergumul dengan gejala anemia.
Gejala Anemia
Bagi banyak orang yang menderita anemia, gejala-gejalanya bisa meliputi:
- Merasa lemah dan letih
- Sesak napas
- Pusing
- Detak jantung yang cepat
- Kulit dan gusi pucat
- Kesulitan berpikir jernih atau sering melamun
Tes untuk Menentukan Anemia
Dokter dapat melakukan beberapa tes untuk menentukan apakah seseorang menderita anemia. Pada orang dengan penyakit ginjal kronis, penyebab utama anemia biasanya adalah penurunan produksi eritropoietin. Selain itu, dokter juga akan memeriksa kemungkinan kekurangan zat besi atau kehilangan darah, yang juga merupakan penyebab umum anemia.
Salah satu cara untuk mendiagnosis anemia adalah melalui tes darah sederhana yang mengukur kadar hematokrit (Ht) dan hemoglobin (Hb). Nilai yang rendah pada kedua tes ini dapat menjadi indikator adanya anemia.
Hematokrit mengukur persentase darah yang terdiri dari sel darah merah. Jika kadar hematokrit turun di bawah 37% pada pria atau wanita pasca-menopause, atau di bawah 33% pada wanita yang masih menstruasi, pedoman dari National Kidney Foundation Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) menyarankan agar penyebab anemia diperiksa dan segera ditangani pada pasien dengan penyakit ginjal.
Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah yang mengandung zat besi dan membawa oksigen ke tubuh. Jika kadar hemoglobin turun di bawah 12 g/dL pada wanita pasca-menopause dan pria, atau di bawah 11 g/dL pada wanita yang masih menstruasi, perawatan anemia sebaiknya dimulai segera.
Zat Besi dan Anemia
Zat besi adalah mineral penting yang dibutuhkan tubuh untuk memproduksi sel darah merah yang sehat. Sebagian besar zat besi dalam tubuh terkandung dalam hemoglobin. Kekurangan zat besi dan eritropoietin juga dapat menyebabkan anemia.
Tanpa zat besi, tubuh tidak dapat menghasilkan cukup sel darah merah, yang akhirnya menyebabkan Anemia Defisiensi Besi.
Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
- Kekurangan makanan yang kaya akan zat besi, seperti daging merah, sayuran berdaun hijau, dan telur.
- Infeksi, peradangan, atau kehilangan darah akibat prosedur hemodialisis atau menstruasi, yang bisa meningkatkan risiko anemia.
Tes untuk Menilai Kadar Zat Besi
Untuk mengobati anemia dengan tepat, penting untuk mengetahui kadar zat besi dalam tubuh. Selain tes darah untuk hematokrit dan hemoglobin, dokter juga biasanya akan memesan beberapa tes darah tambahan, seperti:
- Serum Ferritin
- Serum Besi
- Total Iron Binding Capacity (TIBC)
- Transferrin Saturation (TSAT)
Nilai dari tes-tes ini akan membantu dokter menentukan penyebab kekurangan zat besi.
Penjelasan Tes Zat Besi
Serum Ferritin
Ferritin adalah protein yang menyimpan zat besi dalam tubuh. Tes serum ferritin mengukur jumlah total zat besi yang disimpan dalam tubuh. Kadar ferritin yang rendah menunjukkan kekurangan zat besi dan anemia. Kekurangan ferritin juga dapat dikaitkan dengan sindrom kaki gelisah.Total Iron Binding Capacity (TIBC)
Tes TIBC mengukur jumlah total zat besi yang diperlukan untuk mengisi transferin. Tes ini menunjukkan seberapa baik transferin dapat membawa besi ke darah. Kisaran normal untuk pria dan wanita sehat adalah 240-450 mcg/dL.Serum Besi
Tes serum besi mengukur jumlah besi yang terikat pada transferin dalam darah. Transferin adalah protein yang membawa besi ke sumsum tulang, di mana besi digunakan untuk membuat sel darah merah. Kisaran normal untuk pria sehat adalah 65-177 mg/dL, dan untuk wanita sehat adalah 50-170 mg/dL.Transferrin Saturation (TSAT)
Tes TSAT mengukur rasio antara besi serum dan kapasitas total pengikat besi. Kejenuhan transferrin menunjukkan berapa banyak besi yang terikat pada transferin dan tersedia untuk membuat sel darah merah. Pada orang sehat, antara 20-50% dari situs transferin tersedia sudah terisi dengan besi.
Perlu dicatat, nilai tes ini bisa bervariasi antara laboratorium yang berbeda. Rentang yang ditunjukkan di sini memberikan gambaran umum mengenai kisaran normal untuk setiap tes. Setiap laboratorium akan menyediakan rentang normalnya sendiri pada hasil tes yang diberikan kepada dokter dan pasien.
Cara Mengatasi Anemia
Hampir semua orang dengan penyakit ginjal tahap akhir mengalami anemia. Sebelum tahun 1990-an, anemia sering diobati dengan transfusi darah. Namun, transfusi darah memiliki beberapa risiko, seperti reaksi alergi, kelebihan zat besi yang dapat menyebabkan kulit menghitam, dan infeksi. Saat ini, ada beberapa pilihan obat yang lebih aman untuk membantu mengatasi anemia. Obat-obat ini disebut eritropoiesis-merangsang agen (ESA) karena mereka merangsang pembentukan dan produksi sel darah merah.
Rekombinan eritropoietin manusia (rHuEPO) adalah protein yang diproduksi di laboratorium dan memiliki efek yang sama seperti eritropoietin yang dihasilkan tubuh secara alami. rHuEPO diberikan kepada pasien untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Pemberian obat ini biasanya dilakukan di pusat hemodialisis melalui infus intravena (IV). The National Kidney Foundation merekomendasikan agar pasien dialisis memiliki target hemoglobin antara 11 hingga 12 gram per desiliter (g/dL). Dokter akan memantau kondisi pasien dan menyesuaikan dosis obat sesuai dengan kondisi medis masing-masing.
Jika kadar hemoglobin pasien tidak meningkat setelah pengobatan awal dengan rHuEPO, dokter akan memeriksa kadar zat besi dalam darah. Meskipun kadar eritropoietin dalam tubuh meningkat, produksi sel darah merah tetap membutuhkan cukup zat besi. Biasanya, dokter akan meresepkan suplemen zat besi, baik dalam bentuk pil atau suntikan IV. Selain itu, kadar vitamin B12 dan folat juga perlu diperiksa dan dipastikan berada dalam kisaran normal untuk mendukung produksi sel darah merah yang sehat.
Ringkasan
Mengatasi anemia adalah langkah penting untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan bagi pasien penyakit ginjal kronis dan pasien dialisis. Pengobatan anemia membantu mencegah kelelahan dan gejala lainnya, serta meningkatkan kesehatan jantung. Untuk informasi lebih lanjut, bicarakan dengan dokter atau tim perawatan kesehatan Anda mengenai cara terbaik mengatasi anemia.
Posting Komentar untuk "Anemia pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis"