Keluhan Rumah Sakit mengenai BPJS Kesehatan

Sebagai peserta JKN, mungkin Anda memiliki banyak keluhan terkait BPJS Kesehatan. Begitu pula dengan pihak rumah sakit atau fasilitas kesehatan, yang juga sering menghadapi masalah dengan sistem BPJS Kesehatan.

Beberapa waktu lalu, dr. Widodo Wirawan menulis tentang berbagai keluhan yang dihadapi oleh rumah sakit, terutama tipe C dan D, terkait BPJS Kesehatan. Berikut adalah beberapa masalah teknis yang memberatkan pihak rumah sakit sebagai provider BPJS:

1. Pembayaran Klaim yang Tertunda

Pembayaran klaim sering kali tertunda atau dicicil. Contohnya, klaim bulan Maret yang belum lunas, sementara klaim bulan Juni baru dibayar 10%. Hal ini menciptakan kesan bahwa BPJS membayar tanpa menunda, padahal prosesnya bisa sangat lambat.

2. Peraturan Tidak Tertulis yang Berlaku Mundur

Beberapa peraturan yang diterapkan oleh verifikator BPJS berlaku mundur tanpa disepakati bersama. Banyak klaim yang ditolak, meskipun layanan sudah diberikan. Misalnya, aturan yang diberlakukan BPJS sejak Juni, namun berlakunya mundur sejak Januari, menyebabkan klaim yang sudah diajukan sebelumnya dianggap tidak layak.

3. Masalah Pembayaran Obat

Rumah sakit diharuskan memberikan obat yang terdaftar dalam formulary nasional (fornas), meskipun obat tersebut tidak ada dalam e-katalog. Namun, BPJS enggan membayar obat tersebut dengan alasan tidak tercatat dalam e-katalog.

4. Tarif Berdasarkan Kelas Rumah Sakit

Tarif layanan berdasarkan kelas rumah sakit, bukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit, terasa tidak adil. Misalnya, untuk kasus hernia dengan tingkat kesulitan yang sama, tarifnya bisa berbeda antara RS kelas A, B, C, dan D.

5. Larangan Cost Sharing

Rumah sakit tidak diizinkan untuk meminta cost sharing atau iuran biaya dari pasien. Meskipun pasien sudah setuju, aturan ini sangat memberatkan, terutama di rawat jalan. Sebagai contoh, untuk RS kelas B, semua biaya termasuk dokter, laboratorium, dan obat untuk satu kali kunjungan hanya dibayar Rp 165 ribu. Selain itu, aturan tentang re-admisi semakin memberatkan, dengan perubahan batas waktu kunjungan ulang yang semakin panjang, dari awal 3 hari, kemudian 7 hari, hingga terakhir menjadi 14 hari.

6. Tidak Adanya Clinical Pathway yang Disepakati

Tidak ada clinical pathway atau standar pengobatan pasien yang disepakati secara nasional oleh Kemenkes, BPJS, dan rumah sakit. Hal ini sering menimbulkan perbedaan pandangan antara verifikator BPJS dan dokter yang memberikan layanan, terutama ketika verifikator bukan seorang dokter, yang sering menyebabkan kesalahpahaman.

Saat ini, baik BPJS maupun rumah sakit berusaha mencari strategi untuk menghindari kerugian akibat pedoman yang tidak jelas. Rumah sakit menggunakan acuan PMK 37, sementara BPJS menetapkan aturan sendiri dalam proses verifikasi. Ketika dikonfirmasi kepada Direktur Operasional BPJS, alasan yang diberikan adalah kekhawatiran terkait klaim yang dianggap fraud atau lebih bayar. Akibatnya, lebih sering terjadi kekurangan pembayaran (under reimbursement). Yang lebih parah, BPJS menetapkan waktu kedaluwarsa untuk tagihan yang masih tertunda pembayaran, memaksa rumah sakit menerima jumlah yang dibayar meski tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Bahkan, rumah sakit tertekan untuk menerima pembayaran yang belum mencakup seluruh tagihan, dan dalam beberapa kasus, dokter pun diminta mengembalikan uang yang sudah diterima.

Mari bersama-sama mengawal dan mendukung sistem BPJS Kesehatan agar memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat di semua level.

PasienSehat
PasienSehat Hai, saya pasien biasa yang suka nulis blog buat berbagi dan belajar bareng. Lewat tulisan ini, saya berharap kita bisa saling mendukung, bertukar ide, dan tumbuh bersama.

1 komentar untuk "Keluhan Rumah Sakit mengenai BPJS Kesehatan"

  1. mestinya ada mou yg jelas dan tidak saling merugikan baik pasien, RS dan pemerintah
    jangan murah tapi tidak maksimal dalam penanganan

    BalasHapus