Perbedaan JKN BPJS Kesehatan Dan Kartu Indonesia Sehat
Apa perbedaan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan BPJS yang sebenarnya? Benarkah KIS katanya berbeda dengan BPJS, bahkan diberitakan KIS lebih baik dari BPJS?
Perbedaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) ini ditulis oleh Evi Dwi Yanti dalam sebuah kiriman pembaca Dakwatuna.com beberapa bulan lalu. Kesimpulannya JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan lebih baik dari KIS karena JKN memiliki payung hukum yang jelas, sementara KIS tidak. Berikut kutipan lengkapnya.
1 Januari 2014, Indonesia telah mulai mengimplementasikan suatu program kesehatan yang telah diperjuangkan cukup lama, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, tiba-tiba, menjelang akhir tahun 2014, tepatnya di masa Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia yang baru, salah satu dari calon presiden, Joko Widodo, mengeluarkan janji politiknya dalam kampanye Pilpres, yaitu penawaran program kesehatan bernama Kartu Indonesia Sehat di mana program tersebut secara sekilas hampir sama dengan program yang sedang merintis perjalanannya belum mencapai 1 tahun, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional. Lantas, apa itu Jaminan Kesehatan Nasional dan Kartu Indonesia Sehat? Apakah KIS muncul karena dianggap lebih baik daripada JKN? Ataukah KIS muncul hanya sebagai pelunasan janji politik tanpa dasar dari Calon Presiden yang telah menjadi Presiden?
Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah program yang muncul pada masa pemerintahan Jokowi, sedangkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program yang dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, dengan tegas bisa dikatakan bahwa KIS tidak lebih baik daripada JKN. Mengapa? JKN telah dipersiapkan cukup matang dan atas pertimbangan berbagai faktor, dimana hal tersebut telah tertuang dalam Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014-2019. Selain itu, JKN juga mempunyai landasan hukum yang sangat kuat yaitu UUD 1945 pasal 25 H ayat 1, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan KIS tidak mempunyai landasan hukum sama sekali. KIS muncul secara tiba-tiba sebagai janji politik dari Jokowi ketika hendak maju jadi presiden Republik Indonesia. KIS tidak mempunyai penjelasan persiapan yang jelas dan pelaksanaan yang jelas. Lain halnya dengan JKN yang sudah mempunyai peta jalan, KIS tidak mempunyai rujukan yang jelas terkait dengan persiapan maupun pelaksanaannya.
Berikut adalah analisis kedua program tersebut dilihat dari segi kepesertaan, premi, ketersediaan dan distribusi fasilitas pelayanan kesesehatan, ketersediaan dan distribusi tenaga kesehatan, ketersediaan dan distribusi obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, serta akses penduduk ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Dilihat dari segi kepesertaan dan premi, sesuai dengan yang tertera dalam peta jalan JKN dan Perpres Nomor 12 tahun 2013, peserta dari JKN dikelompokkan menjadi dua, yaitu peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan peserta non-PBI (Non-Penerima Bantuan Iuran). Untuk peserta PBI adalah peserta fakir dan miskin yang memenuhi kriteria sehingga preminya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan peserta non-PBI adalah peserta yang membayar preminya secara mandiri. Data terakhir yang terdapat di web resmi BPJS Kesehatan, jumlah peserta JKN per tanggal 15 Mei 2015 sebanyak 144.330.879 penduduk dari proyeksi penduduk Indonesia 2015 sebanyak 255.461.700.
Premi dalam JKN dibagi menjadi tiga berdasarkan pembagian kelas I, II, dan III. Untuk kelas I iurannya sebesar 25.500, kelas II sebesar 42.500, dan kelas III sebesar 59.500.
Sedangkan KIS, kepesertaannya hingga saat ini masih belum jelas. Ketika sekelompok mahasiswa melakukan audiensi ke BPJS Kesehatan Pusat yang berada di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat dan bertemu dengan kepala Humasnya langsung, salah satu mahasiswa menanyakan KIS itu apa dan apa bedanya dengan JKN? Beliau menjawab bahwa KIS dan JKN adalah program yang sama, KIS akan diperuntukkan bagi peserta PBI dalam JKN sehingga ada wacana kalau suatu saat peserta PBI dari JKN akan berubah menjadi peserta KIS. Kata beliau juga, badan yang menangani KIS juga BPJS kesehatan. Hal tersebut semakin mengherankan, mengapa BPJS kesehatan mau saja ditunjuk sebagai badan yang mengurusi KIS tanpa ada landasan hukum dan tata laksana KIS yang jelas. Dari penjelasan tersebut maka muncul kesimpulan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, di dalam program JKN akan terdapat program KIS.
Dalam informasi yang berbeda, sebuah berita mengabarkan bahwa Ibu Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa peserta KIS adalah masyarakat miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang tidak mempunyai KTP. Calon penerima KIS akan didata langsung oleh kementerian sosial dan didaftarkan ke BPJS kesehatan sebagai penerima KIS. Dalam berita yang lain didapatkan, premi KIS sama dengan premi JKN artinya besarannya sesuai dengan kelas yang dipilih. Hal tersebut justru memunculkan pertanyakan lagi, bukankah KIS ini diperuntukkan untuk masyarakat miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang dalam iurannya secara otomatis akan mendapatkan kelasnya III karena dibayar oleh pemerintah? Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa telah terjadi inkonsistensi dan ketidakjelasan dari program KIS.
Dilihat dari segi fasilitas dan tenaga kesehatan, saat ini telah tersedia lebih dari 85.000 dokter praktik umum dan lebih dari 25.000 dokter praktik spesialis. Secara nasional, jumlah tersebut cukup untuk melayani seluruh rakyat berdasarkan rasio satu dokter praktik umum melayani 3.000 orang. Pelayanan kesehatan saat ini juga didukung oleh jumlah perawat dan bidan yang jumlahnya telah mencukupi dan tempat tidur di rumah sakit milik pemerintah dan swasta termasuk tempat tidur di puskesmas yang rasionya telah mendekati satu tempat tidur untuk setiap 1.000 penduduk. Data terakhir yang terdapat di web resmi BPJS Kesehatan terkait dengan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam program JKN, jumlah fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut, puskesmas sebanyak 9798, klinik TNI sebanyak 750, klinik POLRI sebanyak 570, klinik pratama sebanyak 2712, dokter praktek perorangan sebanyak 4222, dokter gigi sebanyak 1050, rumah sakit kelas D kelas pratama sebanyak 8, rumah sakit sebanyak 1679, klinik utama sebanyak 79, apotek sebanyak 1679, dan optik sebanyak 870 (www.bpjs-kesehatan.go.id, 2015). Namun, ketersediaan fasilitas kesehatan tersebut terkendala oleh penyebarannya atau distribusi yang jauh lebih banyak di kota-kota besar. Masalah distribusi akan dapat diselesaikan jika pembayaran BPJS memadai. Tentu saja untuk mendapatkan pembayaran yang memadai, diperlukan iuran yang memadai. Selain itu, kita memiliki lebih dari 1.800 rumah sakit dan lebih dari 1.000 Puskesmas yang memiliki tempat tidur perawatan. Menurut UU Rumah Sakit, Puskesmas yang memiliki tempat tidur dan melayani rawat inap seharusnya termasuk golongan rumah sakit. Jika diperhatikan angka utilisasi (BOR) RS tersebut secara keseluruhan, maka tampak jumlah tempat tidur yang ada sekarang belum optimal digunakan. Angka BOR rata-rata masih di bawah 70 persen. Hanya di kota-kota besar, BOR sebagian RS bisa mencapai di atas 80 persen. Hal ini bukan merupakan bukti efek jaminan, akan tetapi lebih pada efek pasar, tingkat sosial dan pendidikan masyarakat, dan akses. Namun, banyak pihak menilai jumlah tempat tidur masih jauh kurang berdasarkan rasio tempat tidur (TT) penduduk 1 TT untuk 1.000 penduduk (Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional, 2012). Penggunaan rasio statis itu berbahaya jika demand belum tumbuh. Fakta data utilisasi sekarang ini, demand belum cukup baik karena belum ada jaminan kesehatan yang efektif untuk semua penduduk, jarak jauh, dan kualitas layanan belum memadai. Oleh karenanya, kita tidak perlu terburu-buru menyediakan tambahan tempat tidur sebanyak rasio yang ditargetkan. Proses peningkatan demand akan berkembang secara bertahap sejalan dengan perluasan kepesertaan. Menunda perluasan jaminan kesehatan karena alasan belum tersedia cukup faskes dapat melanggar hak sekitar 60 persen penduduk yang telah tinggal dalam jarak kurang dari satu jam ke salah satu faskes, tetapi tidak memiliki dana untuk membayar layanan kesehatan.
Dilihat dari segi ketersediaan dan distribusi obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, layanan kesehatan yang mencakup obat dan bahan medis habis pakai juga telah diatur. Menurut peta jalan tersebut, jumlah pabrik obat di Indonesia jumlahnya jauh melebihi kebutuhan. Produksi bahan medis habis pakai juga mudah untuk ditingkatkan produksinya. Penentuan besaran pembayaran iutan BPJS menjadi faktor kunci agar dokter dan fasilitas kesehatan, termasuk obat dan bahan medis habis pakai dibayar dengan harga keekonomian yang layak, dan terjadi keseimbangan yang memadai antara permintaan dan penyediaan obat dan bahan medis habis pakai.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa program JKN lebih baik daripada KIS. Meskipun hingga sekarang JKN masih mendapatkan kritik dari berbagai pihak, namun JKN masih diyakini berada dalam proses perbaikan. Kata seorang Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI bernama Prof. Ascobat Gani, beliau berkata bahwa JKN memang ibarat berlayar sambil membangun kapal sehingga dalam prosesnya masih banyak yang perlu diperbaiki agar kapal JKN suatu hari ini nanti bisa berlayar dengan baik.
—
Daftar Pustaka:
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Peta Jalan Jaminan kesehatan Nasional 2014-2019
Rencana Strategis Menteri Kesehatan 2015-2019
www.bpjs-kesehatan.go.id
*Baca Juga: Kartu BPJS Berubah Menjadi KIS?
Perbedaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) ini ditulis oleh Evi Dwi Yanti dalam sebuah kiriman pembaca Dakwatuna.com beberapa bulan lalu. Kesimpulannya JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan lebih baik dari KIS karena JKN memiliki payung hukum yang jelas, sementara KIS tidak. Berikut kutipan lengkapnya.
1 Januari 2014, Indonesia telah mulai mengimplementasikan suatu program kesehatan yang telah diperjuangkan cukup lama, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, tiba-tiba, menjelang akhir tahun 2014, tepatnya di masa Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia yang baru, salah satu dari calon presiden, Joko Widodo, mengeluarkan janji politiknya dalam kampanye Pilpres, yaitu penawaran program kesehatan bernama Kartu Indonesia Sehat di mana program tersebut secara sekilas hampir sama dengan program yang sedang merintis perjalanannya belum mencapai 1 tahun, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional. Lantas, apa itu Jaminan Kesehatan Nasional dan Kartu Indonesia Sehat? Apakah KIS muncul karena dianggap lebih baik daripada JKN? Ataukah KIS muncul hanya sebagai pelunasan janji politik tanpa dasar dari Calon Presiden yang telah menjadi Presiden?
Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah program yang muncul pada masa pemerintahan Jokowi, sedangkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program yang dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, dengan tegas bisa dikatakan bahwa KIS tidak lebih baik daripada JKN. Mengapa? JKN telah dipersiapkan cukup matang dan atas pertimbangan berbagai faktor, dimana hal tersebut telah tertuang dalam Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014-2019. Selain itu, JKN juga mempunyai landasan hukum yang sangat kuat yaitu UUD 1945 pasal 25 H ayat 1, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan KIS tidak mempunyai landasan hukum sama sekali. KIS muncul secara tiba-tiba sebagai janji politik dari Jokowi ketika hendak maju jadi presiden Republik Indonesia. KIS tidak mempunyai penjelasan persiapan yang jelas dan pelaksanaan yang jelas. Lain halnya dengan JKN yang sudah mempunyai peta jalan, KIS tidak mempunyai rujukan yang jelas terkait dengan persiapan maupun pelaksanaannya.
Berikut adalah analisis kedua program tersebut dilihat dari segi kepesertaan, premi, ketersediaan dan distribusi fasilitas pelayanan kesesehatan, ketersediaan dan distribusi tenaga kesehatan, ketersediaan dan distribusi obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, serta akses penduduk ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Dilihat dari segi kepesertaan dan premi, sesuai dengan yang tertera dalam peta jalan JKN dan Perpres Nomor 12 tahun 2013, peserta dari JKN dikelompokkan menjadi dua, yaitu peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan peserta non-PBI (Non-Penerima Bantuan Iuran). Untuk peserta PBI adalah peserta fakir dan miskin yang memenuhi kriteria sehingga preminya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan peserta non-PBI adalah peserta yang membayar preminya secara mandiri. Data terakhir yang terdapat di web resmi BPJS Kesehatan, jumlah peserta JKN per tanggal 15 Mei 2015 sebanyak 144.330.879 penduduk dari proyeksi penduduk Indonesia 2015 sebanyak 255.461.700.
Premi dalam JKN dibagi menjadi tiga berdasarkan pembagian kelas I, II, dan III. Untuk kelas I iurannya sebesar 25.500, kelas II sebesar 42.500, dan kelas III sebesar 59.500.
Sedangkan KIS, kepesertaannya hingga saat ini masih belum jelas. Ketika sekelompok mahasiswa melakukan audiensi ke BPJS Kesehatan Pusat yang berada di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat dan bertemu dengan kepala Humasnya langsung, salah satu mahasiswa menanyakan KIS itu apa dan apa bedanya dengan JKN? Beliau menjawab bahwa KIS dan JKN adalah program yang sama, KIS akan diperuntukkan bagi peserta PBI dalam JKN sehingga ada wacana kalau suatu saat peserta PBI dari JKN akan berubah menjadi peserta KIS. Kata beliau juga, badan yang menangani KIS juga BPJS kesehatan. Hal tersebut semakin mengherankan, mengapa BPJS kesehatan mau saja ditunjuk sebagai badan yang mengurusi KIS tanpa ada landasan hukum dan tata laksana KIS yang jelas. Dari penjelasan tersebut maka muncul kesimpulan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, di dalam program JKN akan terdapat program KIS.
Dalam informasi yang berbeda, sebuah berita mengabarkan bahwa Ibu Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa peserta KIS adalah masyarakat miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang tidak mempunyai KTP. Calon penerima KIS akan didata langsung oleh kementerian sosial dan didaftarkan ke BPJS kesehatan sebagai penerima KIS. Dalam berita yang lain didapatkan, premi KIS sama dengan premi JKN artinya besarannya sesuai dengan kelas yang dipilih. Hal tersebut justru memunculkan pertanyakan lagi, bukankah KIS ini diperuntukkan untuk masyarakat miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang dalam iurannya secara otomatis akan mendapatkan kelasnya III karena dibayar oleh pemerintah? Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa telah terjadi inkonsistensi dan ketidakjelasan dari program KIS.
Dilihat dari segi fasilitas dan tenaga kesehatan, saat ini telah tersedia lebih dari 85.000 dokter praktik umum dan lebih dari 25.000 dokter praktik spesialis. Secara nasional, jumlah tersebut cukup untuk melayani seluruh rakyat berdasarkan rasio satu dokter praktik umum melayani 3.000 orang. Pelayanan kesehatan saat ini juga didukung oleh jumlah perawat dan bidan yang jumlahnya telah mencukupi dan tempat tidur di rumah sakit milik pemerintah dan swasta termasuk tempat tidur di puskesmas yang rasionya telah mendekati satu tempat tidur untuk setiap 1.000 penduduk. Data terakhir yang terdapat di web resmi BPJS Kesehatan terkait dengan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam program JKN, jumlah fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut, puskesmas sebanyak 9798, klinik TNI sebanyak 750, klinik POLRI sebanyak 570, klinik pratama sebanyak 2712, dokter praktek perorangan sebanyak 4222, dokter gigi sebanyak 1050, rumah sakit kelas D kelas pratama sebanyak 8, rumah sakit sebanyak 1679, klinik utama sebanyak 79, apotek sebanyak 1679, dan optik sebanyak 870 (www.bpjs-kesehatan.go.id, 2015). Namun, ketersediaan fasilitas kesehatan tersebut terkendala oleh penyebarannya atau distribusi yang jauh lebih banyak di kota-kota besar. Masalah distribusi akan dapat diselesaikan jika pembayaran BPJS memadai. Tentu saja untuk mendapatkan pembayaran yang memadai, diperlukan iuran yang memadai. Selain itu, kita memiliki lebih dari 1.800 rumah sakit dan lebih dari 1.000 Puskesmas yang memiliki tempat tidur perawatan. Menurut UU Rumah Sakit, Puskesmas yang memiliki tempat tidur dan melayani rawat inap seharusnya termasuk golongan rumah sakit. Jika diperhatikan angka utilisasi (BOR) RS tersebut secara keseluruhan, maka tampak jumlah tempat tidur yang ada sekarang belum optimal digunakan. Angka BOR rata-rata masih di bawah 70 persen. Hanya di kota-kota besar, BOR sebagian RS bisa mencapai di atas 80 persen. Hal ini bukan merupakan bukti efek jaminan, akan tetapi lebih pada efek pasar, tingkat sosial dan pendidikan masyarakat, dan akses. Namun, banyak pihak menilai jumlah tempat tidur masih jauh kurang berdasarkan rasio tempat tidur (TT) penduduk 1 TT untuk 1.000 penduduk (Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional, 2012). Penggunaan rasio statis itu berbahaya jika demand belum tumbuh. Fakta data utilisasi sekarang ini, demand belum cukup baik karena belum ada jaminan kesehatan yang efektif untuk semua penduduk, jarak jauh, dan kualitas layanan belum memadai. Oleh karenanya, kita tidak perlu terburu-buru menyediakan tambahan tempat tidur sebanyak rasio yang ditargetkan. Proses peningkatan demand akan berkembang secara bertahap sejalan dengan perluasan kepesertaan. Menunda perluasan jaminan kesehatan karena alasan belum tersedia cukup faskes dapat melanggar hak sekitar 60 persen penduduk yang telah tinggal dalam jarak kurang dari satu jam ke salah satu faskes, tetapi tidak memiliki dana untuk membayar layanan kesehatan.
Dilihat dari segi ketersediaan dan distribusi obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, layanan kesehatan yang mencakup obat dan bahan medis habis pakai juga telah diatur. Menurut peta jalan tersebut, jumlah pabrik obat di Indonesia jumlahnya jauh melebihi kebutuhan. Produksi bahan medis habis pakai juga mudah untuk ditingkatkan produksinya. Penentuan besaran pembayaran iutan BPJS menjadi faktor kunci agar dokter dan fasilitas kesehatan, termasuk obat dan bahan medis habis pakai dibayar dengan harga keekonomian yang layak, dan terjadi keseimbangan yang memadai antara permintaan dan penyediaan obat dan bahan medis habis pakai.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa program JKN lebih baik daripada KIS. Meskipun hingga sekarang JKN masih mendapatkan kritik dari berbagai pihak, namun JKN masih diyakini berada dalam proses perbaikan. Kata seorang Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI bernama Prof. Ascobat Gani, beliau berkata bahwa JKN memang ibarat berlayar sambil membangun kapal sehingga dalam prosesnya masih banyak yang perlu diperbaiki agar kapal JKN suatu hari ini nanti bisa berlayar dengan baik.
Kartu e-ID KIS sebagai identitas peserta BPJS Kesehatan yang baru |
Daftar Pustaka:
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Peta Jalan Jaminan kesehatan Nasional 2014-2019
Rencana Strategis Menteri Kesehatan 2015-2019
www.bpjs-kesehatan.go.id
*Baca Juga: Kartu BPJS Berubah Menjadi KIS?
Posting Komentar untuk "Perbedaan JKN BPJS Kesehatan Dan Kartu Indonesia Sehat"