Berapa Limit Kartu BPJS Kesehatan Atau KIS?
Untuk Anda yang masih bingung tentang berapa limit kartu BPJS Kesehatan atau KIS? Sebenarnya tidak ada limit plafon untuk penggunaan BPJS Kesehatan atau KIS untuk berobat di rumah sakit. Biaya berobat dengan BPJS Kesehatan diatur dalam PMK nomor 59 tahun 2014 tentang standar tarif Jaminan Kesehatan Nasional. Atau sistem tarif INA CBG's.
Tarif INA-CBG's dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Dengan pola INA-CBG's, paket pembayaran sudah termasuk: 1) konsultasi dokter, 2) pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, radiologo (rontgen), dll, 3) obat Formularium Nasional (Fornas) maupun obat bukan Fornas, 4) bahan dan alat medis habis pakai, 5) akomodasi atau kamar perawatan, 6) biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien. Komponen biaya yang sudah termasuk ke dalam paket INA-CBG's, tidak dibebankan kepada pasien.
Jadi, berapa batas pertanggungan BPJS atau biaya maksimal yang ditanggung BPJS atau limit bpjs kelas 1, limit bpjs kelas 2, dan limit bpjs kelas 3 diatur dalam sistem tarif INA CBG's.
Berapapun biaya pengobatannya dapat ditanggung BPJS Kesehatan sesuai tarif INA CBGs, pasien tidak boleh ditarik biaya tambahan kalau sudah sesuai prosedur dan sesuai hak kelas. Mau pasien membutuhkan operasi berbiaya tinggi atau cuci darah seumur hidup, biayanya dapat ditanggung BPJS Kesehatan.
Ada pertanyaan menarik tentang "apakah operasi jantung ditanggung, bagaimana kalau biayanya melebihi tarif INA-CBGs?".
Begini ya, CBGs itu maksudnya Case-Base Group. Dulu era Jamkesmas namanya DRG (Diagnosis-related group). Keduanya sama, hanya beda istilah. Disebut INA karena itu versi Indonesia. Tarif ini ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, bukan BPJS Kesehatan.
Jadi, ada sekelompok kasus atau diagnosis (maka disebut Grup) yang karena karakteristik dan biayanya dianggap satu kelompok, maka mendapatkan tarif yang sama. Katakanlah ada 10 diagnosis dalam satu grup, tarifnya sama.
Lantas bagaimana? Kalau kebetulan menangani kasus nomor 1 misalnya, ternyata tarif INA-CBGs lebih rendah daripada tarif Rumah Sakit, sehingga ada defisit. Di kasus nomor 2, masih lebih tinggi tarif RS, tetapi sudah lebih mendekati tarif INA-CBGs, masih juga defisit tapi lebih kecil. Di kasus nomor 3, 4, 5 dan 6 misalnya ternyata hampir sama dengan tarif INA-CBGs ada yang sedikit lebih ada yang sedikit dibawahnya, katakanlah impas. Di kasus nomor 7, 8, 9 dan 10 ternyata tarif INA-CBGs lebih tinggi daripada tarif RS, sehingga ada surplus.
Jadi memang tidak bisa diukur kasus per kasus. Secara kumulatif dalam sebulan misalnya, maka akan bisa dihitung berapa saldo kumulatifnya dari keseluruhan 10 kasus tersebut. Dari sana baru terlihat bagaimana hasil akhirnya. Kita sering mendengar keluhan "bagaimana mungkin tarifnya segitu, nggak mungkin cukup". Maka itu tentu kurang tepat cara memandangnya.
Masalahnya tinggal bagaimana frekuensi dan sebaran kasusnya. Itu yang menjadi kajian manajemen Rumah Sakit untuk menentukan strategi. Tentu diharapkan strategi yang baik. Bukan strategi "menolak kasus yang defisit, dan memperbanyak kasus yang surplus". Ini memang godaan berat dan tantangan bagi manajemen Rumah Sakit. Tidak mudah. Tetapi ada hikmahnya: dipaksa berpikir dan berbenah agar efisien. Tarif INA-CBGs juga bisa menjadi "acuan" dalam mengkaji efisiensi tarif RS. Lagi-lagi, ini bukan persoalan mudah, tapi mau tidak mau, harus dilakukan.
Dengan memahami ini, lebih mudah kita memahami permasalahan di lapangan.
Baca Juga: Berapa Selisih Biaya Naik Kelas VIP, Benarkah Bayar 75%?
Tarif INA-CBG's dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Dengan pola INA-CBG's, paket pembayaran sudah termasuk: 1) konsultasi dokter, 2) pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, radiologo (rontgen), dll, 3) obat Formularium Nasional (Fornas) maupun obat bukan Fornas, 4) bahan dan alat medis habis pakai, 5) akomodasi atau kamar perawatan, 6) biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien. Komponen biaya yang sudah termasuk ke dalam paket INA-CBG's, tidak dibebankan kepada pasien.
Jadi, berapa batas pertanggungan BPJS atau biaya maksimal yang ditanggung BPJS atau limit bpjs kelas 1, limit bpjs kelas 2, dan limit bpjs kelas 3 diatur dalam sistem tarif INA CBG's.
Berapapun biaya pengobatannya dapat ditanggung BPJS Kesehatan sesuai tarif INA CBGs, pasien tidak boleh ditarik biaya tambahan kalau sudah sesuai prosedur dan sesuai hak kelas. Mau pasien membutuhkan operasi berbiaya tinggi atau cuci darah seumur hidup, biayanya dapat ditanggung BPJS Kesehatan.
[image source: allstate] |
Bagaimana Kalau Biayanya Melebihi Tarif INA CBGs, Apakah Ditanggung BPJS Kesehatan?
Ada pertanyaan menarik tentang "apakah operasi jantung ditanggung, bagaimana kalau biayanya melebihi tarif INA-CBGs?".
Begini ya, CBGs itu maksudnya Case-Base Group. Dulu era Jamkesmas namanya DRG (Diagnosis-related group). Keduanya sama, hanya beda istilah. Disebut INA karena itu versi Indonesia. Tarif ini ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, bukan BPJS Kesehatan.
Jadi, ada sekelompok kasus atau diagnosis (maka disebut Grup) yang karena karakteristik dan biayanya dianggap satu kelompok, maka mendapatkan tarif yang sama. Katakanlah ada 10 diagnosis dalam satu grup, tarifnya sama.
Lantas bagaimana? Kalau kebetulan menangani kasus nomor 1 misalnya, ternyata tarif INA-CBGs lebih rendah daripada tarif Rumah Sakit, sehingga ada defisit. Di kasus nomor 2, masih lebih tinggi tarif RS, tetapi sudah lebih mendekati tarif INA-CBGs, masih juga defisit tapi lebih kecil. Di kasus nomor 3, 4, 5 dan 6 misalnya ternyata hampir sama dengan tarif INA-CBGs ada yang sedikit lebih ada yang sedikit dibawahnya, katakanlah impas. Di kasus nomor 7, 8, 9 dan 10 ternyata tarif INA-CBGs lebih tinggi daripada tarif RS, sehingga ada surplus.
Jadi memang tidak bisa diukur kasus per kasus. Secara kumulatif dalam sebulan misalnya, maka akan bisa dihitung berapa saldo kumulatifnya dari keseluruhan 10 kasus tersebut. Dari sana baru terlihat bagaimana hasil akhirnya. Kita sering mendengar keluhan "bagaimana mungkin tarifnya segitu, nggak mungkin cukup". Maka itu tentu kurang tepat cara memandangnya.
Masalahnya tinggal bagaimana frekuensi dan sebaran kasusnya. Itu yang menjadi kajian manajemen Rumah Sakit untuk menentukan strategi. Tentu diharapkan strategi yang baik. Bukan strategi "menolak kasus yang defisit, dan memperbanyak kasus yang surplus". Ini memang godaan berat dan tantangan bagi manajemen Rumah Sakit. Tidak mudah. Tetapi ada hikmahnya: dipaksa berpikir dan berbenah agar efisien. Tarif INA-CBGs juga bisa menjadi "acuan" dalam mengkaji efisiensi tarif RS. Lagi-lagi, ini bukan persoalan mudah, tapi mau tidak mau, harus dilakukan.
Dengan memahami ini, lebih mudah kita memahami permasalahan di lapangan.
[Disadur dari kiriman dr. Tonang DA via Grup BPJS Kesehatan]
Baca Juga: Berapa Selisih Biaya Naik Kelas VIP, Benarkah Bayar 75%?
limit kartu BPJS sedemikian sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dong yah
BalasHapusKalau pasien sesuai kelas, limit menjadi masalah bagi RS jika biaya realnya lebih besar, dan menjadi masalah bagi pasien yang naik kelas diatas kelas I.
BalasHapusDan menjadi keuntungan bagi RS dan pasien naik kelas diatas kelas I jika limit lebih besar daripada real cost RS, RS untung dan pasien bebas biaya.
Tinggal prosentase mana yang lebih besar...masalah atau untungnya...