Evidence Based Medicine atau Pengobatan Berbasis Bukti
Dunia kedokteran tidak mengenal testimoni |
Dunia kedokteran tidak mengandalkan testimoni. Pengobatan yang diberikan kepada pasien didasarkan pada Evidence Based Medicine (EBM) atau pengobatan berbasis bukti.
EBM adalah pendekatan dalam pengobatan yang menggabungkan hasil penelitian terbaru, kondisi pasien, dan kejadian klinis untuk membuat keputusan medis yang tepat. EBM mengintegrasikan pengalaman klinis, pengetahuan tentang patofisiologi, dan keputusan-keputusan yang diambil demi kesehatan pasien. Dengan kata lain, EBM menggunakan data dari berbagai penelitian untuk menentukan terapi yang paling tepat untuk penyakit tertentu.
Dengan merujuk pada hasil penelitian kedokteran terbaru dan literatur, baik yang bersifat individu maupun kelompok, EBM membantu dokter dalam beberapa hal berikut:
- Menentukan diagnosis yang tepat
- Memilih rencana pemeriksaan yang terbaru
- Menentukan terapi yang paling efektif
- Menetapkan metode pencegahan penyakit yang terbaru
Jenis penelitian terbaik yang digunakan dalam EBM adalah:
- Randomised Clinical Trials (RCT)
- Meta-analysis
Bukti klinis ini umumnya dipublikasikan dalam jurnal dan dokumen lainnya, yang memudahkan dokter atau tenaga medis untuk mengakses dan memanfaatkannya.
EBM juga melibatkan teknik berskala besar dengan pengelompokan pasien berdasarkan penyakit yang sama. Hal ini dapat digunakan untuk membuat pedoman praktik atau konsensus. Manfaat dari pedoman ini adalah untuk membantu klinisi dalam menentukan diagnosis dan terapi yang tepat.
Berikut adalah contoh penerapan Evidence Based Medicine:
Sebanyak 10.000 pasien dengan penyakit jantung koroner yang memiliki karakteristik serupa dibagi secara acak ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama diberi obat yang mengandung tepung, sementara kelompok kedua diberi aspirin dosis rendah. Setelah 5 tahun, pasien yang mengonsumsi aspirin dosis rendah mengalami serangan jantung dan stroke yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang hanya mengonsumsi tepung. Sebagai hasilnya, pasien dengan risiko tinggi serangan jantung atau stroke kini dianjurkan untuk mengonsumsi aspirin dosis rendah seumur hidup.
Sebuah penelitian lain membandingkan dua kelompok keluarga. Kelompok pertama adalah keluarga dengan suami yang perokok, dan kelompok kedua adalah keluarga dengan suami non-perokok. Penelitian ini berlangsung selama 10 tahun, dan hasilnya menunjukkan bahwa pada keluarga dengan suami perokok, 5 dari 100 istri menderita kanker paru, sementara pada keluarga non-perokok hanya 1 dari 100 istri yang mengalami kanker paru. Temuan ini menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko kanker paru pada perokok pasif hingga 5 kali lipat. Penelitian serupa juga menemukan kejadian ISPA, asma, dan pneumonia pada anak-anak yang tinggal bersama perokok. Berdasarkan temuan ini, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa "Tidak ada paparan asap rokok pasif yang tidak berisiko terhadap kesehatan."
Dokter dan tenaga medis profesional berusaha mengobati pasien berdasarkan penelitian yang valid, bukan berdasarkan informasi yang tidak jelas.
Dalam dunia kedokteran, bukti ilmiah selalu menjadi prioritas, bukan testimoni.
ooo jadi yang seperti itu tuh gosip ya. hehehehe
BalasHapusiklan mas