Benarkah Vaksin Menyebabkan Autisme?

Beberapa waktu lalu, beredar cerita melalui WhatsApp mengenai "Vaksin Penyebab Autisme", yang menceritakan seorang ibu tentang anaknya, Joey, yang berusia 27 bulan dan menderita autisme yang (katanya) disebabkan oleh vaksin. Cerita ini cukup mengejutkan, terutama bagi pembaca awam, tetapi bagi kami, ini hanyalah propaganda lama dan murahan dari kelompok antivaksin. Jika ditelusuri lebih jauh, latar waktu 'curhatan' tersebut sekitar tahun 2003. Pada awal tahun 2000-an, vaksin dan autisme memang sempat menjadi perdebatan dunia, dengan tuduhan bahwa vaksinlah yang menjadi penyebab munculnya autisme. Tuduhan ini dipicu oleh penelitian kontroversial yang dilakukan oleh Andrew Wakefield.

Pada tahun 1998, Wakefield, seorang ahli bedah asal Inggris, mempublikasikan hasil penelitiannya yang menyebutkan bahwa vaksin MMR (campak, gondong, dan rubella) berhubungan dengan timbulnya gejala autisme dan gangguan pada usus anak-anak. Wakefield mengklaim bahwa penelitiannya mendukung teori "Autism Enterocolitis" atau "Leaky Gut Syndrome", yang menyatakan bahwa vaksin MMR menyebabkan peradangan pada usus, sehingga protein berbahaya bisa masuk ke dalam darah dan otak, yang berujung pada autisme. Berita ini kemudian menyebar luas dan menjadi propaganda dari kelompok antivaksin di seluruh dunia. Banyak orangtua yang menjadi panik dan takut vaksinasi, sehingga cakupan vaksinasi anak-anak menurun drastis. Akibatnya, sejak tahun 2005, penyakit campak dan gondong mulai kembali mewabah di negara-negara tersebut.

Namun, para dokter, peneliti, dan tenaga kesehatan segera bereaksi terhadap temuan Wakefield ini. Penelitian-penelitian besar dilakukan untuk membuktikan apakah benar vaksin MMR dapat menyebabkan autisme, dengan melibatkan lebih banyak data dan metode yang lebih akurat. Hasilnya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut.

Pada akhirnya, kebohongan tidak dapat terus disembunyikan. Penelitian Wakefield terbukti penuh rekayasa dan manipulasi data. Wakefield ternyata dibayar oleh pengacara dan orangtua anak-anak autis yang ia teliti untuk membuat "bukti ilmiah" bahwa vaksin menyebabkan autisme, demi memenangkan tuntutan di pengadilan terhadap pabrik vaksin. Wakefield kemudian diadili oleh konsil kedokteran Inggris, publikasi penelitiannya ditarik dari jurnal Lancet, dan ia dipecat dari profesinya sebagai dokter. Skandal ini disebut-sebut sebagai "the most damaging medical hoax of the last 100 years" karena dampaknya yang sangat besar, termasuk mewabahnya kembali penyakit campak di Eropa dan Amerika.

Kelompok antivaksin di Eropa dan Amerika umumnya adalah orang-orang yang mendapatkan keuntungan finansial atau popularitas dari isu bahaya vaksin. Setelah propaganda terkait MMR dan autisme runtuh, dan skandal penelitian Wakefield terbongkar, mereka berusaha mempertahankan argumen dengan beralih ke tuduhan baru. Mereka mulai menyebutkan merkuri dalam vaksin sebagai penyebab autisme, dengan alasan yang mereka buat-buat, bahwa gejala keracunan metilmerkuri dosis tinggi mirip dengan gejala autisme.

Padahal, thimerosal, senyawa yang mengandung etilmerkuri (bukan metilmerkuri), digunakan sebagai pengawet dalam vaksin multidosis (vaksin yang dapat digunakan untuk beberapa anak dalam satu kemasan). Vaksin multidosis banyak digunakan di negara-negara miskin dan berkembang karena harganya lebih murah dan lebih tahan lama saat transportasi atau penyimpanan yang kurang optimal. Semua zat, termasuk merkuri, memiliki batas kadar racunnya bila terpapar dalam jumlah besar. Misalnya, natrium (garam dapur) bisa berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah besar, tetapi dalam dosis kecil setiap hari, kita mengonsumsinya tanpa masalah. Demikian juga dengan merkuri yang digunakan dalam vaksin dalam dosis sangat rendah, yang cepat dikeluarkan dari tubuh dan tidak terakumulasi.

Sebagai perbandingan, merkuri juga ditemukan dalam air susu ibu (ASI). Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif bahkan menerima merkuri lebih dari dua kali kadar merkuri dalam vaksin, namun tetap aman karena kadarnya sangat rendah dan tidak berbahaya. Sayangnya, kelompok antivaksin terus menyebarkan informasi yang menyesatkan, dengan menyebutkan bahwa merkuri dalam vaksin berbahaya dan bisa menyebabkan autisme, yang membuat orangtua semakin takut untuk memvaksinasi anak-anak mereka.

Pada Juli 1999, Food & Drug Administration (FDA), American Academy of Pediatrics (AAP), dan Public Health Service (PHS) dari Departemen Kesehatan Amerika Serikat memutuskan untuk menghentikan penggunaan thimerosal dalam vaksin di Amerika. Namun, keputusan ini bukan karena adanya bukti bahwa thimerosal dalam vaksin menyebabkan autisme, melainkan sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi paparan merkuri pada anak-anak di negara tersebut. Pada saat yang sama, pabrik-pabrik di Amerika dan dunia masih banyak yang menggunakan merkuri dalam bentuk senyawa berbahaya, dan pembuangan limbah merkuri telah mencemari biota laut. Akibatnya, paparan merkuri non-vaksin—terutama metilmerkuri dari konsumsi ikan pemangsa besar—dapat meningkatkan akumulasi merkuri dalam tubuh.

Keputusan FDA, AAP, dan PHS ini juga bertujuan merespons propaganda kelompok antivaksin. Penarikan thimerosal dari vaksin memberi kesempatan kepada peneliti untuk menjawab klaim tersebut dengan penelitian yang lebih akurat. Hasilnya sangat meyakinkan: thimerosal dalam vaksin sama sekali tidak ada hubungannya dengan autisme. Bahkan, meskipun thimerosal telah ditarik dari vaksin di Amerika, jumlah penderita autisme di sana terus meningkat, bukan menurun—sebuah fakta yang sulit disangkal dan membuktikan bahwa vaksin tidak berhubungan dengan autisme.

Jacquelyn McCandless (almarhum), seorang dokter pengobat alternatif di California, awalnya menangani gangguan kejiwaan dan terapi seks dengan pendekatan alternatif. Namun, setelah cucunya didiagnosis dengan autisme pada 1996, ia mulai mendalami pengobatan autisme dengan metode alternatif yang tidak didukung oleh dasar ilmiah yang jelas. McCandless mempropagandakan bahwa merkuri adalah penyebab autisme dan mendukung teori "Leaky Gut Syndrome" ala Wakefield. Ia menyebarkan metode pengobatan alternatif yang tidak terbukti efektif melalui bukunya Children with Starving Brain dan mengklaim telah menyembuhkan ratusan pasien autisme.

Salah satu terapi yang ia promosikan adalah terapi kelasi, yang didasarkan pada teori keliru bahwa autisme disebabkan oleh merkuri dari vaksin. Terapi kelasi ini bertujuan mengikat logam dalam tubuh, tetapi terbukti tidak bermanfaat, bahkan berbahaya hingga dapat menyebabkan kematian.

Ironisnya, buku sesat McCandless juga beredar di Indonesia, yang menjadi kritik besar terhadap penerbitnya karena telah menyebarkan informasi yang menyesatkan. Dari kasus yang beredar lewat WhatsApp ini, kita bisa belajar bagaimana kelompok antivaksin dan pengobat alternatif sering mengeksploitasi orangtua dan anak-anak dengan autisme sebagai alat propaganda dan pencari simpati. Anak-anak penderita autisme yang seharusnya mendapat kasih sayang dan stimulasi untuk berkembang justru menjadi korban eksperimen pengobatan alternatif yang tidak berbasis pada logika ilmiah, menghabiskan biaya, namun tidak memberikan manfaat.

Di sisi lain, orangtua yang kurang memiliki literasi ilmiah sering kali mudah terpengaruh oleh isu-isu yang menakutkan, dibumbui teori konspirasi, cerita mengharukan, dan klaim ilmiah yang tidak berdasar, yang akhirnya memilih untuk tidak memvaksinasi anak-anak mereka. Kisah nyata mengenai wabah campak yang kembali muncul di Eropa dan Amerika harus menjadi pelajaran bagi kita untuk lebih waspada terhadap gerakan antivaksin yang mulai menyebar di Indonesia.

Sangat mudah untuk menggunakan media sosial seperti WhatsApp untuk menyebarkan berita yang kontroversial tanpa benar-benar menganalisis atau memverifikasi kebenarannya. Mari kita bersikap lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi.

PasienSehat
PasienSehat Hai, saya pasien biasa yang suka nulis blog buat berbagi dan belajar bareng. Lewat tulisan ini, saya berharap kita bisa saling mendukung, bertukar ide, dan tumbuh bersama.

Posting Komentar untuk "Benarkah Vaksin Menyebabkan Autisme?"