Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Di Era JKN
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah / kardiovaskular saat ini telah menjadi pembunuh nomer 1 di dunia, di Indonesia kelompok penyakit ini menempati urutan pertama pembiayaan kesehatan dalam JKN.
Faktor risiko utama penyakit kardiovaskular ini antara lain:
1. Merokok
2. Tekanan darah tinggi / Hipertensi
3. Kencing Manis / Diabetes
4. Kolesterol tinggi / hypercholesterolemia
5. Berat badan berlebih / obesitas
6. Kurang olah raga
7. Hidup di Indonesia
Mengapa hidup di Indonesia menjadi faktor risiko penting penyakit kardiovaskular? Mari kita bahas satu persatu.
Indonesia adalah satu-satunya negara di asia yang belum meratifikasi FCTC. Akibatnya harga di Indonesia menjadi salah satu yang termurah di Dunia. Perusahaan rokok juga bisa beriklan dengan mudah disembarang tempat.
Akibatnya bisa ditebak, Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia. Harga rokok di Indonesia sangat terjangkau sehingga dapat dibeli dengan oleh anak-anak, kini 2/3 pria Indonesia adalah perokok. Rokok juga telah menjadi bahan pokok karena merupakan kebutuhan rumah tangga terbesar kedua di Indonesia setelah beras. Jadi wajar dong kalau penyakit kardiovaskular ini menjadi masalah besar di Indonesia.
Bagaimana dengan penyakit hipertensi dan diabetes di Indonesia? Deteksi dan tatalaksananya masih kacau balau. Bukan karena dokternya yang kurang mampu tapi karena anggaran kesehatan yang terbatas. Bayangkan obat tekanan darah yang tersedia di banyak puskesmas saat ini hanya captopril dan amlodipin, obat hipertensi jangka yang kerjanya sebentar sehingga harus diberikan 3x sehari. Itupun hanya dosis kecil dengan jumlah yang terbatas sehingga pemberiannya harus dibatasi. Obat lainnya Amlodipine kadang ada kadang tidak. Bagaimana mungkin bisa tatalaksana hipertensi yang optimal bisa diberikan dalam keterbatasan tersebut?
Bagaimana dengan diabetes? Tatalaksana nya juga masih jauh dari optimal. Obat yang tersedia terbatas, pemeriksaan gula darah yang bisa dilakukan juga terbatas. Sehingga gula darah seringkali tidak terkontrol baik. Akibatnya wajar jika pada akhirnya timbul komplikasi seperti penyakit jantung, gagal ginjal, atau stroke akibat tekanan darah dan diabetes yang tidak terkontrol baik ini.
Bagaimana dengan kolesterol tinggi? Bagi mereka yang mampu atau bekerja di perusahaan menengah ke atas. Pemeriksaan kolesterol seringkali menjadi bagian dari medical check up / pemeriksaan kesehatan rutin. Karenanya intervensi dini bisa dilakukan jika memang ditemukan kadar kolesterol darah yang tinggi. Tapi kebanyakan warga Indonesia sangat jarang yang menjadi pemeriksaan kolesterol rutin. Pemeriksaan ini dalam JKN belum menjadi sesuatu yang dapat dikerjakan untuk skreening, baru bisa dikerjakan setelah ada indikasi. Karenanya seringkali sudah terlambat. Pemeriksaannya di PPKI juga tidak bisa ditagihkan terpisah, sehingga akan mengambil anggaran kapitasi puskesmas / klinik tersebut. Jadi sangat sedikit layanan primer yang mau mengerjakannya tanpa biaya tambahan. Solusinya? Rujuk ke RS.
Bagaimana dengan obesitas dan kebiasaan kurang olah raga? Mungkin ini menjadi urusan masing-masing individu. Tapi menurut saya upaya pemerintah untuk memberikan pemahaman yang cukup bahwa berat berat badan harus ideal serta olahraga harus rutin dan berkelanjutan masih kurang. Hampir tidak pernah ada iklan layanan masyarakat mengenai hal ini. Kalah jauh dari iklan mengenai rokok yang dampaknya sangat merusak kesehatan.
Dihadapkan pada kekurangan tersebut dalam sistem dan anggaran kesehatan itu, menjadi wajar jika angka rujukan dari puskesmas ke rumah sakit menjadi sangat tinggi. Disinilah DepKes menurut saya tidak mau disalahkan. Mereka tidak mau mengakui bahwa fasilitas kesehatan kita, terutama layanan primer masih kurang sumber daya manusia-nya, masih kurang fasilitasnya, masih kurang anggarannya. Mereka lebih mudah menyalahkan dokternya. Mereka dianggap kurang kompeten untuk bekerja di layanan primer sehingga angka rujukan menjadi tinggi. Padahal isu sebenarnya disini adalah sistem kesehatan kita yang masih sangat kurang.
Karena hanya bisa menyalahkan. Bukannya menuntut pemerintah pusat untuk meningkatkan pajak rokok dan mengalihkan uang yang didapat untuk memperbaiki jumlah SDM, menambah fasilitas, dan memperbaiki sistem sehingga layanan primer bisa lebih baik. Solusi mereka justu mendidik dokter agar lebih "kompeten". Padahal kompetensi dokter menjadi tidak relavan ketika saat dia bekerja obat yang tersedia terbatas, pemeriksaan yang bisa dia kerjakan terbatas, waktu yang dia miliki dalam melayani pasien juga terbatas.
Hidup di Indonesia karenanya menjadi faktor risiko penting penyakit kardiovaskular yang banyak dilupakan orang. Dilupakan karena biaya untuk memperbaikinya saat ini dianggap menyedot biaya yang terlalu besar. Lebih baik buat program baru untuk lahan korupsi rame-rame. Kasian ya penduduk Indonesia. Uang negara habis untuk sebuah program yang percuma.
[Disadur dari dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP | https://facebook.com/ErtaPriadiWirawijaya]
Faktor risiko utama penyakit kardiovaskular ini antara lain:
1. Merokok
2. Tekanan darah tinggi / Hipertensi
3. Kencing Manis / Diabetes
4. Kolesterol tinggi / hypercholesterolemia
5. Berat badan berlebih / obesitas
6. Kurang olah raga
7. Hidup di Indonesia
Mengapa hidup di Indonesia menjadi faktor risiko penting penyakit kardiovaskular? Mari kita bahas satu persatu.
Indonesia adalah satu-satunya negara di asia yang belum meratifikasi FCTC. Akibatnya harga di Indonesia menjadi salah satu yang termurah di Dunia. Perusahaan rokok juga bisa beriklan dengan mudah disembarang tempat.
Akibatnya bisa ditebak, Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia. Harga rokok di Indonesia sangat terjangkau sehingga dapat dibeli dengan oleh anak-anak, kini 2/3 pria Indonesia adalah perokok. Rokok juga telah menjadi bahan pokok karena merupakan kebutuhan rumah tangga terbesar kedua di Indonesia setelah beras. Jadi wajar dong kalau penyakit kardiovaskular ini menjadi masalah besar di Indonesia.
Bagaimana dengan penyakit hipertensi dan diabetes di Indonesia? Deteksi dan tatalaksananya masih kacau balau. Bukan karena dokternya yang kurang mampu tapi karena anggaran kesehatan yang terbatas. Bayangkan obat tekanan darah yang tersedia di banyak puskesmas saat ini hanya captopril dan amlodipin, obat hipertensi jangka yang kerjanya sebentar sehingga harus diberikan 3x sehari. Itupun hanya dosis kecil dengan jumlah yang terbatas sehingga pemberiannya harus dibatasi. Obat lainnya Amlodipine kadang ada kadang tidak. Bagaimana mungkin bisa tatalaksana hipertensi yang optimal bisa diberikan dalam keterbatasan tersebut?
Bagaimana dengan diabetes? Tatalaksana nya juga masih jauh dari optimal. Obat yang tersedia terbatas, pemeriksaan gula darah yang bisa dilakukan juga terbatas. Sehingga gula darah seringkali tidak terkontrol baik. Akibatnya wajar jika pada akhirnya timbul komplikasi seperti penyakit jantung, gagal ginjal, atau stroke akibat tekanan darah dan diabetes yang tidak terkontrol baik ini.
Bagaimana dengan kolesterol tinggi? Bagi mereka yang mampu atau bekerja di perusahaan menengah ke atas. Pemeriksaan kolesterol seringkali menjadi bagian dari medical check up / pemeriksaan kesehatan rutin. Karenanya intervensi dini bisa dilakukan jika memang ditemukan kadar kolesterol darah yang tinggi. Tapi kebanyakan warga Indonesia sangat jarang yang menjadi pemeriksaan kolesterol rutin. Pemeriksaan ini dalam JKN belum menjadi sesuatu yang dapat dikerjakan untuk skreening, baru bisa dikerjakan setelah ada indikasi. Karenanya seringkali sudah terlambat. Pemeriksaannya di PPKI juga tidak bisa ditagihkan terpisah, sehingga akan mengambil anggaran kapitasi puskesmas / klinik tersebut. Jadi sangat sedikit layanan primer yang mau mengerjakannya tanpa biaya tambahan. Solusinya? Rujuk ke RS.
Bagaimana dengan obesitas dan kebiasaan kurang olah raga? Mungkin ini menjadi urusan masing-masing individu. Tapi menurut saya upaya pemerintah untuk memberikan pemahaman yang cukup bahwa berat berat badan harus ideal serta olahraga harus rutin dan berkelanjutan masih kurang. Hampir tidak pernah ada iklan layanan masyarakat mengenai hal ini. Kalah jauh dari iklan mengenai rokok yang dampaknya sangat merusak kesehatan.
ilustrasi penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) | everydayhealth |
Dihadapkan pada kekurangan tersebut dalam sistem dan anggaran kesehatan itu, menjadi wajar jika angka rujukan dari puskesmas ke rumah sakit menjadi sangat tinggi. Disinilah DepKes menurut saya tidak mau disalahkan. Mereka tidak mau mengakui bahwa fasilitas kesehatan kita, terutama layanan primer masih kurang sumber daya manusia-nya, masih kurang fasilitasnya, masih kurang anggarannya. Mereka lebih mudah menyalahkan dokternya. Mereka dianggap kurang kompeten untuk bekerja di layanan primer sehingga angka rujukan menjadi tinggi. Padahal isu sebenarnya disini adalah sistem kesehatan kita yang masih sangat kurang.
Karena hanya bisa menyalahkan. Bukannya menuntut pemerintah pusat untuk meningkatkan pajak rokok dan mengalihkan uang yang didapat untuk memperbaiki jumlah SDM, menambah fasilitas, dan memperbaiki sistem sehingga layanan primer bisa lebih baik. Solusi mereka justu mendidik dokter agar lebih "kompeten". Padahal kompetensi dokter menjadi tidak relavan ketika saat dia bekerja obat yang tersedia terbatas, pemeriksaan yang bisa dia kerjakan terbatas, waktu yang dia miliki dalam melayani pasien juga terbatas.
Hidup di Indonesia karenanya menjadi faktor risiko penting penyakit kardiovaskular yang banyak dilupakan orang. Dilupakan karena biaya untuk memperbaikinya saat ini dianggap menyedot biaya yang terlalu besar. Lebih baik buat program baru untuk lahan korupsi rame-rame. Kasian ya penduduk Indonesia. Uang negara habis untuk sebuah program yang percuma.
[Disadur dari dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP | https://facebook.com/ErtaPriadiWirawijaya]
Posting Komentar untuk "Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Di Era JKN"