Ilmu Misterius tentang Nyeri
Selama ratusan tahun, ilmuwan mengira bahwa nyeri adalah respon langsung terhadap kerusakan atau luka. Berdasarkan logika ini, semakin besar luka, maka semakin besar pula rasa sakit yang dirasakan. Namun, seiring dengan berkembangnya pemahaman kita tentang ilmu nyeri, kita menemukan bahwa rasa sakit dan kerusakan jaringan tidak selalu berkaitan langsung, bahkan ketika tubuh berfungsi dengan baik untuk memproses sinyal ancaman.
Kita bisa merasakan nyeri yang sangat hebat, meskipun cedera yang dialami tidak terlalu besar, bahkan terkadang kita merasa nyeri tanpa ada cedera sama sekali. Contoh yang ekstrem adalah kasus tukang bangunan tersebut, atau kasus yang terdokumentasi dengan baik mengenai pasangan pria yang ikut merasakan nyeri selama pasangan wanitanya hamil atau bekerja. Apa yang sebenarnya terjadi? Sebenarnya, ada dua fenomena yang berperan di sini: pengalaman nyeri dan proses biologis yang disebut nosiseptif.
Nosiseptif adalah bagian dari sistem saraf yang bertugas mendeteksi ancaman atau rangsangan yang berpotensi membahayakan. Sensor khusus yang terletak di ujung saraf akan mendeteksi ancaman, baik itu mekanis, suhu, atau bahan kimia. Jika sensor-sensor ini aktif, sinyal elektrik akan bergerak dari saraf ke tulang belakang dan kemudian ke otak. Otak akan menilai seberapa penting sinyal tersebut dan menghasilkan rasa sakit jika dianggap tubuh memerlukan perlindungan. Biasanya, rasa sakit ini berfungsi untuk membantu tubuh menghindari cedera lebih lanjut. Namun, ada banyak faktor lain, selain mekanisme nosiseptif, yang dapat memengaruhi rasa sakit yang kita alami, yang seringkali membuat rasa sakit menjadi kurang berguna.
Salah satu faktor biologis adalah penguatan sinyal nosiseptif menuju otak. Jika serabut saraf terus-menerus teraktivasi, otak bisa menjadi lebih sensitif untuk melindungi tubuh dari ancaman. Akibatnya, sensor tambahan akan dipasang pada serabut saraf, menjadikannya sangat sensitif, hingga bahkan sentuhan ringan bisa memicu sinyal elektrik yang kuat. Dalam beberapa kasus, saraf akan mengadaptasi dirinya untuk mengirimkan sinyal dengan lebih efisien, memperkuat pesan tersebut. Proses penguatan ini sangat umum terjadi pada orang yang mengalami nyeri kronis, yang didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Ketika sistem saraf berada dalam keadaan siaga tinggi secara terus-menerus, rasa sakit bisa berlangsung lebih lama daripada cedera fisik itu sendiri. Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana semakin lama nyeri berlangsung, semakin sulit untuk menghilangkannya.
Faktor psikologis juga jelas memainkan peran besar dalam nyeri. Keadaan emosional, ingatan, keyakinan tentang rasa sakit, dan harapan terhadap pengobatan semuanya dapat memengaruhi seberapa besar nyeri yang dirasakan. Sebuah studi menunjukkan bahwa anak-anak yang merasa tidak memiliki kontrol atas rasa sakit mereka, ternyata merasakan nyeri yang lebih intens dibandingkan dengan anak-anak yang merasa mereka bisa mengontrol rasa sakit.
Selain itu, faktor lingkungan juga memengaruhi persepsi nyeri. Dalam sebuah percobaan, sukarelawan yang merasakan tongkat dingin di punggung tangan mereka melaporkan bahwa rasa sakit lebih terasa ketika mereka melihat sinar berwarna merah dibandingkan dengan warna biru, meskipun suhu tongkat tersebut tetap sama.
Faktor sosial, seperti ketersediaan dukungan keluarga, juga memengaruhi persepsi nyeri. Oleh karena itu, pengobatan nyeri yang paling efektif biasanya melibatkan pendekatan yang multidisipliner, dengan bantuan dokter spesialis nyeri, terapis fisik, psikolog, perawat, dan tenaga medis lainnya.
Meskipun kita baru mulai mengungkap mekanisme di balik pengalaman nyeri, ada beberapa area yang menjanjikan untuk diteliti lebih lanjut. Misalnya, hingga baru-baru ini kita mengira bahwa sel glial yang menyelimuti saraf hanya memiliki peran pendukung, tetapi sekarang kita tahu bahwa mereka memainkan peran penting dalam memengaruhi proses nosiseptif. Studi terbaru menunjukkan bahwa dengan menonaktifkan sirkuit otak tertentu di amigdala, rasa sakit bisa dihilangkan pada tikus. Selain itu, penelitian genetik pada orang dengan kelainan langka yang membuat mereka tidak merasakan nyeri telah mengarah pada potensi pengobatan baru, termasuk terapi gen.
Sumber: The Mysterious Science of Pain - Joshua W. Pate - YouTube
Posting Komentar untuk "Ilmu Misterius tentang Nyeri"