Kisah Kate Nicholson: Ketangguhan di Tengah Nyeri yang Tak Terbayangkan

Kate Nicholson adalah seorang pengacara hak sipil yang bekerja di Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Kariernya sedang berada di puncak ketika sebuah tragedi medis mengubah hidupnya secara drastis. Sebuah kesalahan dalam prosedur pembedahan menyebabkan Kate tidak lagi mampu duduk atau berdiri. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan terbaring di tempat tidur, sementara ia juga harus menanggung nyeri yang sangat hebat selama hampir 20 tahun. Meskipun begitu, Kate berhasil tetap bekerja sebagai jaksa federal tingkat tinggi, berkat terapi opioid yang membantunya mengendalikan rasa sakit.

Dalam ceramahnya, Kate membagikan kisahnya yang menyentuh hati sekaligus membuka mata. Ia menjelaskan bagaimana pendekatan yang keliru terhadap penyalahgunaan opioid oleh 2,5 juta warga Amerika Serikat berdampak buruk pada pengobatan nyeri bagi lebih dari 50 juta orang yang hidup dengan nyeri kronis atau nyeri berat. Berikut adalah terjemahan dari ceramahnya dalam video YouTube berjudul What We Lose When We Undertreat Pain.

Awal Tragedi

"Saya berada di puncak karier saya sebagai pengacara hak sipil di Departemen Kehakiman ketika sesuatu yang tak terduga terjadi," ungkap Kate. Ia sedang duduk di meja kerjanya, menikmati secangkir latte, dan mengetik dokumen untuk pengadilan, ketika tiba-tiba punggungnya terasa terbakar. "Rasanya seperti asam menggerogoti tulang belakang saya," katanya. Otot-ototnya bereaksi dan membuatnya terjatuh dari kursi. Ia terkulai di lantai, tubuhnya terbakar oleh rasa sakit yang tak bisa digambarkan.

Dalam beberapa minggu berikutnya, rasa sakit itu tidak kunjung mereda. Kate hampir tidak bisa berdiri, bahkan duduk pun menjadi hal yang mustahil. Akhirnya, ia terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbaring. Untuk pergi ke kantor, ia harus berbaring di kursi belakang mobil, bekerja dari kasur lantai di ruang kantornya, dan menggunakan alat bantu berjalan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun, suatu hari, saat tumpangan mobilnya datang terlambat dan ia berdiri terlalu lama, tubuhnya tak kuat lagi. Ia jatuh dan terbaring di tempat tidur, terkunci dalam rasa sakit selama hampir 20 tahun.

Belakangan, Kate mengetahui bahwa penyebab semua ini adalah kesalahan dalam prosedur pembedahan. Seorang dokter secara tidak sengaja memutus saraf di tulang belakangnya. Ketika saraf yang rusak itu mencoba tumbuh kembali, mereka tidak memperbaiki diri seperti seharusnya. Sebaliknya, saraf-saraf itu mengalami malfungsi. Sentuhan ringan di kulitnya terasa seperti terkena obor las. Mandi pun menjadi siksaan, seperti ditusuk jarum panas di seluruh tubuhnya.

Kehilangan dan Harapan

Rasa sakit yang dialami Kate semakin intensif, semakin meningkat seiring waktu. "Semakin lama berlangsung, semakin buruk rasanya," kenangnya. Namun, di tengah semua itu, yang paling membekas di ingatannya adalah ekspresi putus asa di wajah suaminya. Suaminya adalah orang yang setia menggendongnya dari satu dokter ke dokter lain, hanya untuk mendengar kabar buruk bahwa kondisi Kate mungkin tidak akan pernah membaik, malah semakin memburuk.

Saat itu, Kate masih bekerja sebagai pengacara hak sipil. Ia membela hak orang-orang dengan HIV/AIDS untuk mendapatkan perawatan medis dan memperjuangkan akses pekerjaan yang setara bagi penyandang disabilitas. "Saya pikir alam semesta memutuskan bahwa saya perlu pengalaman pribadi," katanya dengan nada pahit. Ia kini menjadi seorang penyandang disabilitas yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas.

Namun, meski segala sesuatu terasa suram, Kate memutuskan untuk berjuang. Ia memilih untuk tetap bekerja meskipun tubuhnya tak bisa duduk atau berdiri. Keputusan itu ternyata menjadi salah satu keputusan terbaik dalam hidupnya.

Perjalanan dengan Opioid

Pada awalnya, Kate menolak menggunakan opioid untuk meredakan rasa sakitnya. Ia khawatir akan risiko kecanduan dan stigma yang melekat pada obat tersebut. Namun, ketika terapi lain gagal dan dokter menyarankan penggunaan opioid, ia merasa seperti menyerah pada kegagalan. "Saya merasa dokter sudah menyerah pada saya," katanya.

Tetapi, hal yang luar biasa terjadi setelah ia memutuskan untuk mencoba. Rasa sakitnya mulai mereda. Ia mendapatkan kembali kendali atas hidupnya dan mampu bekerja lagi. Selama lebih dari 20 tahun, Kate terus menjalankan tugasnya sebagai jaksa federal tingkat tinggi, meskipun sebagian besar waktunya ia habiskan di tempat tidur.

Panggilan untuk Perubahan

Dalam ceramahnya, Kate menyoroti ketidakadilan yang dialami oleh jutaan orang dengan nyeri kronis. Pendekatan hukum yang keras terhadap penyalahgunaan opioid justru berdampak buruk pada pasien yang benar-benar membutuhkan obat tersebut. Banyak dokter takut meresepkan opioid karena risiko tuntutan hukum, sehingga pasien dengan nyeri berat sering kali tidak mendapatkan perawatan yang memadai.

Kate juga menyoroti kurangnya pendidikan tentang nyeri dalam kurikulum kedokteran. "Hanya empat sekolah kedokteran di Amerika yang mewajibkan satu mata kuliah tentang nyeri," katanya. Padahal, nyeri adalah salah satu alasan utama orang mengunjungi dokter dan penyebab utama disabilitas jangka panjang di Amerika.

Kate menyerukan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dan terintegrasi untuk mengobati nyeri. "Opioid memang berbahaya jika disalahgunakan, tetapi mereka juga menyelamatkan nyawa dan memulihkan kehidupan. Kita harus bisa membedakan keduanya," ujarnya.

Penutup

Cerita Kate Nicholson adalah pengingat akan pentingnya mendengar dan memahami kebutuhan pasien. Nyeri kronis bukan sekadar gejala, melainkan penyakit yang membutuhkan perhatian serius. Dalam menghadapi epidemi opioid, kita tidak boleh melupakan jutaan orang yang hidup dengan nyeri berat setiap hari. "Mari kita obati rasa sakit dengan benar," katanya menutup ceramahnya.

PasienSehat
PasienSehat Hai, saya pasien biasa yang suka nulis blog buat berbagi dan belajar bareng. Lewat tulisan ini, saya berharap kita bisa saling mendukung, bertukar ide, dan tumbuh bersama.

Posting Komentar untuk "Kisah Kate Nicholson: Ketangguhan di Tengah Nyeri yang Tak Terbayangkan"