Invisible Disability dan Tanggapan Orang: Dari Kasihan Sampai Gak Percaya
Pernah gak kamu ketemu orang yang kelihatannya sehat-sehat aja, tapi ternyata mereka punya kondisi kesehatan yang bikin hidupnya jauh lebih berat dari kelihatannya? Itu namanya invisible disability alias disabilitas yang gak keliatan. Dari luar, mereka mungkin kelihatan biasa aja—kayak orang yang sehat, ceria, dan “normal.” Tapi di balik itu, ada perjuangan besar yang sering gak disadari orang lain.
Bayangin kalau kamu harus terus-terusan jelasin ke orang-orang kalau kamu sakit, padahal dari luar gak ada tanda-tanda jelas. Misalnya, orang dengan penyakit autoimun, gangguan mental, atau nyeri kronis. Karena “gak keliatan,” banyak yang anggap itu gak nyata, cuma drama, atau malah nyuruh “jangan lebay.” Keselnya, komentar-komentar kayak gini sering datang dari orang yang gak paham tapi sok tau.
Invisible disability tuh bikin orang yang mengalaminya merasa seperti harus membuktikan kalau mereka beneran sakit. Rasanya kayak lagi ikut audisi buat dapat empati. Ada yang bilang, “Tapi kan kamu keliatan sehat?” atau “Cuma capek doang kali.” Hal-hal kecil kayak gini bikin mereka makin capek—bukan cuma secara fisik, tapi juga mental.
Apa Sih Invisible Disability Itu?
Kalau ngomongin disabilitas, kebanyakan orang langsung mikir soal kondisi yang kelihatan, kayak orang yang pakai kursi roda atau alat bantu jalan. Tapi invisible disability tuh beda. Kondisi ini gak punya tanda-tanda fisik yang jelas, tapi dampaknya tetap besar. Contohnya banyak: mulai dari gangguan mental kayak depresi atau anxiety, penyakit autoimun kayak lupus, sampai kondisi neurologis kayak migrain kronis atau epilepsi.
Masalahnya, karena gak keliatan, banyak orang mikir kalau kondisi ini gak “serius.” Mereka gak ngerti kalau invisible disability tuh bisa bikin orang susah ngelakuin hal-hal yang bagi orang lain mungkin sepele, kayak kerja, sekolah, atau bahkan jalan-jalan ke luar rumah. Dan yang lebih parah, orang yang ngalamin invisible disability sering banget dianggap “malas” atau “gak niat.”
Pernah denger kalimat “Ah, kamu gak kelihatan sakit, kok”? Atau “Coba aja lebih positif, pasti bisa sembuh”? Well, kalimat-kalimat ini mungkin niatnya baik, tapi efeknya nyakitin banget. Alih-alih bikin mereka merasa didukung, ini justru bikin mereka merasa sendirian, seolah-olah sakit mereka gak valid.
Dari Kasihan Sampai Gak Percaya
Reaksi orang terhadap invisible disability biasanya jatuh ke dua kategori: yang pertama, rasa kasihan berlebihan. Mereka bakal bilang, “Ya ampun, kasihan banget kamu,” sambil liat kamu kayak makhluk rapuh yang gak bisa ngapa-ngapain. Tapi yang kedua—dan ini yang sering bikin sakit hati—adalah gak percaya sama sekali.
Orang yang gak percaya biasanya bakal bilang hal-hal kayak, “Ah, masa sih?” atau “Cuma sugesti aja kali.” Ada juga yang nyuruh kamu buat “lebih kuat” atau “jangan terlalu mikir.” Seolah-olah invisible disability tuh cuma ada di kepala kamu, bukan di tubuh kamu. Padahal, mereka gak tahu perjuangan kamu buat bangun dari tempat tidur aja udah kayak perang besar setiap hari.
Yang bikin tambah nyesek, kadang keluarga atau teman dekat pun bisa ragu sama kondisi kamu. Mereka mungkin gak sengaja, tapi sikap skeptis mereka bisa bikin kamu ngerasa gak didukung. Ini bikin kamu makin susah buat terbuka tentang kondisi yang kamu alami, dan akhirnya malah nyimpen semuanya sendiri.
Hidup dengan Stigma
Hidup dengan invisible disability berarti kamu harus berurusan sama stigma setiap hari. Ada stigma dari masyarakat, stigma dari lingkungan sekitar, bahkan kadang stigma dari diri sendiri. Kamu mungkin sering ngerasa gak cukup “sakit” buat dapat bantuan, tapi juga gak cukup “sehat” buat menjalani hidup normal. Rasanya kayak selalu ada di tengah-tengah, dan itu bikin kamu bingung sendiri.
Stigma ini juga bikin kamu ngerasa harus selalu buktiin kalau kondisi kamu itu nyata. Misalnya, kalau kamu minta izin gak masuk kerja karena migrain, kamu takut dianggap bohong. Kalau kamu bilang lagi lelah karena autoimun, orang malah nganggap itu cuma alasan buat bermalas-malasan. Padahal, kamu tahu sendiri kalau sakit yang kamu alami itu gak main-main.
Hal ini juga bikin kamu jadi overthinking. Setiap kali mau cerita soal kondisi kamu, kamu mikir, “Apa orang bakal percaya? Apa mereka bakal ngerti?” Dan akhirnya, kamu lebih milih diem aja daripada jelasin panjang lebar tapi ujung-ujungnya gak dipercaya.
Yang Mereka Butuhin: Empati, Bukan Penilaian
Orang dengan invisible disability gak butuh kasihan berlebihan atau komentar-komentar gak penting. Yang mereka butuhin cuma empati. Cukup dengarkan tanpa nge-judge, cukup percaya tanpa minta bukti, dan cukup hargai tanpa perlu tahu semua detailnya.
Kalau ada teman atau keluarga yang cerita soal kondisi mereka, jangan buru-buru kasih solusi atau nasihat. Kadang, mereka cuma butuh didengar. Jangan anggap remeh atau banding-bandingin sakit mereka sama sakit orang lain. Misalnya, “Ah, itu mah masih mending dibanding si A yang lebih parah.” Kalimat kayak gini cuma bikin mereka merasa gak valid.
Yang penting, kamu gak perlu paham sepenuhnya tentang kondisi mereka. Cukup terima kalau mereka sedang berjuang, dan dukung mereka dengan cara yang mereka butuhin. Kadang, perhatian kecil seperti “Gimana kabar kamu hari ini?” atau “Butuh bantuan apa?” udah lebih dari cukup buat bikin mereka merasa dihargai.
Berhenti Menghakimi, Mulai Mengerti
Kita hidup di dunia yang sering banget nge-judge orang cuma dari penampilan luar. Tapi invisible disability ngingetin kita kalau gak semua hal itu bisa dilihat mata. Jadi, penting banget buat belajar gak buru-buru menghakimi.
Kamu gak tahu apa yang orang lain lagi hadapi. Bisa jadi, senyum mereka cuma cara buat nutupin rasa sakit yang mereka rasain setiap hari. Bisa jadi, mereka butuh waktu lebih lama buat ngerjain sesuatu karena kondisi yang gak keliatan itu. Jadi, berhenti nuntut mereka buat “normal,” dan mulai belajar ngerti kalau setiap orang punya batasannya masing-masing.
Jangan lupa juga buat jadi support system yang baik. Kalau ada orang di sekitar kamu yang punya invisible disability, jadilah pendengar yang baik. Jangan terlalu fokus sama apa yang kelihatan di luar, tapi coba pahami apa yang mereka rasain di dalam. Itu yang paling penting.
Kesimpulannya
Invisible disability itu nyata, meskipun gak keliatan. Mereka yang mengalaminya gak butuh bukti buat validasi kondisi mereka, dan mereka juga gak butuh kasihan berlebihan. Yang mereka butuhin adalah empati, pengertian, dan dukungan.
Jadi, lain kali kalau kamu ketemu orang yang bilang mereka punya kondisi yang gak keliatan, jangan langsung nge-judge. Percayalah sama cerita mereka, dan jadilah orang yang bikin mereka merasa dimengerti. Karena pada akhirnya, sedikit pengertian bisa bikin perjuangan mereka jadi terasa lebih ringan.
Eits, tunggu dulu, ada banyak bacaan keren lainnya yang bisa kamu cek!
- Ketika ‘Kamu Kelihatan Sehat’ Jadi Kalimat yang Menyakitkan
- Gak Kelihatan Sakit, Tapi Rasa Sakitnya Nyata: Hidup dengan Penyakit Kronis
- Kenapa Penyakit Autoimun Kayak Ninja? Nyakitin Tapi Gak Kelihatan
- Apakah Bisa Daftar BPJS Gratis Alias PBI Lewat Mobile JKN? Begini Faktanya!
- Kalau Kamu Gak Kelihatan Sakit, Kenapa Harus Istirahat?
Posting Komentar untuk "Invisible Disability dan Tanggapan Orang: Dari Kasihan Sampai Gak Percaya"