Hidup dengan Penyakit yang Gak Dipercaya Banyak Orang

Hidup dengan Penyakit yang Gak Dipercaya Banyak Orang

“Ah, kamu tuh lebay banget sih.”

“Masak cuma gitu aja capek?”

“Keliatannya sehat kok, masa sakit?”

Pernah dengar kalimat-kalimat ini? Buat kita yang hidup dengan penyakit autoimun atau penyakit kronis lainnya, komentar kayak gitu udah jadi makanan sehari-hari. Masalahnya, banyak orang nggak ngerti kalau yang kita rasain itu nyata, bukan drama. Penyakit yang nggak kelihatan dari luar sering banget bikin orang ragu sama apa yang kita alami. Kadang, kita malah dianggap cari perhatian. Padahal, jauh di dalam hati, kita cuma pengen didengar dan dimengerti.

Coba bayangin kamu lagi berjuang ngelawan tubuh yang “berkhianat,” tapi orang sekitar malah nggak percaya. Rasanya capek banget, kan? Apalagi kalau kita harus terus-menerus ngejelasin ke mereka yang nggak ngerti. Kadang, kita mikir, "Kenapa sih harus seberat ini?" Padahal, yang kita mau cuma hidup dengan tenang, tanpa harus membuktikan apa-apa ke orang lain.

Ketika Penyakit Nggak Kelihatan

Masalah terbesar dari penyakit autoimun adalah: nggak kelihatan dari luar. Kita nggak pake gips, nggak duduk di kursi roda, atau nggak punya tanda fisik lain yang nunjukin kalau kita sakit. Orang-orang lihat kita jalan-jalan, ngobrol, atau ketawa, jadi mereka langsung simpulin, “Ah, sehat-sehat aja kok.” Tapi, mereka nggak tahu perjuangan kita sebelum dan sesudah itu.

Misalnya, kalau mau pergi keluar rumah, kita harus ngumpulin tenaga berjam-jam. Bahkan, setelah sampai rumah, kita mungkin langsung tumbang seharian. Energi yang kita punya itu kayak baterai ponsel jadul: gampang banget habis. Tapi sayangnya, orang nggak lihat proses itu. Yang mereka lihat cuma sisi luarnya, dan akhirnya nge-judge tanpa tahu apa yang sebenernya terjadi.

Penyakit yang nggak kelihatan ini juga bikin kita sering dianggap malas atau kurang usaha. Padahal, coba deh rasain kalau tubuh kamu sendiri yang nggak mau diajak kompromi. Mau bangun aja berat, apalagi ngelakuin hal-hal lain yang butuh banyak tenaga. Tapi ya, gimana caranya jelasin semua ini ke orang yang udah terlanjur nggak percaya?

Janji yang Sering Terpaksa Batal

Bayangin kamu udah janjian sama temen buat nongkrong di kafe favorit. Kamu semangat, udah pilih outfit, bahkan udah siap-siap. Tapi pas hari H, tiba-tiba tubuh kamu drop total. Rasanya nggak ada energi sama sekali buat keluar rumah. Akhirnya, kamu harus ngabarin temen dan bilang kalau kamu nggak bisa datang.

Ini sering banget kejadian sama kita yang hidup dengan autoimun. Bukan karena kita nggak niat atau nggak peduli sama temen, tapi tubuh kita sering kali “berkhianat” tanpa peringatan. Yang bikin sedih, nggak semua orang ngerti. Kadang, mereka jadi kecewa atau malah mikir kita sengaja batalin janji.

Sebenernya, kita juga nggak suka ngecewain orang lain. Kita pengen banget bisa konsisten, bisa tepati semua janji yang udah dibuat. Tapi autoimun itu nggak kasih kita banyak pilihan. Hari ini mungkin kita kelihatan oke, tapi besok bisa aja tubuh kita tiba-tiba tumbang. Dan sayangnya, ini bikin kita harus terus-terusan minta maaf, bahkan untuk hal yang sebenarnya di luar kendali kita.

Hal-Hal yang Dianggap Sepele Tapi Berat Buat Kita

Hidup dengan autoimun bikin kita sadar kalau hal-hal yang kelihatannya sepele buat orang lain, bisa jadi tantangan besar buat kita. Misalnya, ngangkat barang belanjaan dari mobil ke rumah. Buat kebanyakan orang, itu mungkin nggak ada apa-apanya. Tapi buat kita, itu bisa bikin tubuh langsung lemes dan sakit-sakitan selama berjam-jam setelahnya.

Atau contoh lain, sekadar bangun pagi. Buat orang lain, ini hal biasa. Tapi buat kita, bangun dari tempat tidur kadang butuh perjuangan besar. Badan kerasa kayak habis dihajar, energi udah habis bahkan sebelum hari dimulai. Tapi siapa yang ngerti? Dari luar, kita cuma kelihatan malas atau nggak niat ngapa-ngapain.

Yang bikin lebih frustrasi, setiap kali kita coba jelasin ini, orang sering banget ngegas. “Ah, masa sih cuma kayak gitu aja capek?” Rasanya pengen jawab, “Coba rasain dulu sendiri.” Tapi ya, kita cuma bisa diem dan berharap mereka ngerti suatu hari nanti.

Dianggap Mencari Perhatian

Salah satu stigma paling nyakitin adalah ketika orang mikir kita cuma cari perhatian. Kadang, kita cerita soal kondisi kita bukan karena pengen dikasihani, tapi karena kita butuh mereka ngerti. Tapi bukannya dapat pengertian, kita malah dianggap drama atau lebay.

Kenyataannya, kita malah sering banget nyembunyiin apa yang kita rasain. Kita nggak pengen terlihat lemah atau bikin orang lain khawatir. Tapi ada saat-saat di mana kita bener-bener nggak bisa lagi pura-pura kuat, jadi kita akhirnya cerita. Sayangnya, nggak semua orang bisa nerima itu dengan empati.

Komentar kayak “Ah, kamu tuh terlalu sensitif” atau “Udah ah, nggak usah drama” itu nggak cuma bikin kita sakit hati, tapi juga bikin kita makin ragu buat cerita lagi. Jadi kalau kamu punya temen atau keluarga yang hidup dengan autoimun, coba deh kasih mereka ruang buat cerita tanpa harus nge-judge. Kadang, itu hal kecil yang paling mereka butuhin.

Sulit Meminta Bantuan

Buat kita, minta bantuan itu nggak segampang yang kamu kira. Kadang, kita takut dianggap nggak mandiri atau malah bikin orang lain repot. Padahal, ada momen-momen di mana kita bener-bener butuh bantuan. Misalnya, buka tutup botol, bawa belanjaan, atau bahkan sekadar buka pintu yang terlalu berat.

Tapi yang bikin ragu, ada aja orang yang ngerespon dengan komentar kayak, “Ah, masa sih segitunya nggak bisa?” atau “Coba aja lebih usaha.” Padahal, kalau kita bisa ngelakuin sendiri, kita pasti udah lakuin. Minta bantuan itu sering kali jadi pilihan terakhir, setelah semua usaha kita sendiri gagal.

Hal-hal kayak gini bikin kita lebih sering milih buat nyoba sendiri, meskipun akhirnya bikin tubuh makin lelah. Dan ya, ini bukan soal gengsi, tapi karena kita takut bikin orang lain nggak nyaman. Jadi, kalau kamu lihat kita struggling, jangan ragu buat nawarin bantuan duluan. Itu bakal sangat berarti buat kita.

Stigma “Kamu Kan Kelihatan Sehat”

Salah satu hal yang paling sering kita hadapi adalah stigma, “Kamu kan kelihatan sehat, masa sih sakit?” Dari luar, tubuh kita memang nggak ada tanda-tanda penyakit serius. Tapi di dalam, kita terus-menerus berjuang melawan tubuh sendiri yang kadang terasa nggak mau diajak kompromi. Masalahnya, kebanyakan orang cuma melihat dari permukaan aja.

Coba bayangin rasanya harus ngejelasin ke orang lain kalau tubuh kamu bisa tiba-tiba tumbang kapan aja, meskipun tadi pagi kamu masih terlihat oke. Hal ini bikin kita jadi ragu buat janjian, kerja, atau sekadar jalan-jalan, karena takut dikira nggak niat atau nggak konsisten. Padahal, ini bukan soal malas, tapi lebih ke ketidakpastian kondisi tubuh.

Kita nggak butuh orang langsung percaya tanpa bukti, tapi setidaknya hargai apa yang kita bilang. Karena percayalah, nggak ada yang mau pura-pura sakit cuma buat dapat perhatian. Kalau kita kelihatan “sehat,” itu bukan berarti kita nggak sedang berjuang. Mungkin kita cuma jago nyembunyiin semuanya di balik senyum.

Perjuangan Mental yang Sering Diremehkan

Penyakit kronis itu nggak cuma bikin capek fisik, tapi juga mental. Tiap hari, kita harus berjuang buat tetap positif di tengah rasa sakit, kelelahan, dan tekanan dari orang-orang sekitar. Apalagi kalau komentar yang kita dapat lebih sering menyudutkan daripada mendukung.

Bayangin aja, kamu lagi capek banget secara fisik, tapi harus denger orang bilang, “Coba deh kamu lebih bersyukur,” atau “Kamu harusnya lebih semangat, dong.” Niatnya mungkin baik, tapi buat kita yang lagi struggling, itu kayak bensin yang dilempar ke api kecil. Kita nggak butuh nasihat klise, kita cuma butuh didengar dan dimengerti.

Belum lagi rasa bersalah yang terus-menerus muncul karena nggak bisa jadi versi terbaik dari diri kita. Nggak bisa selalu hadir di acara keluarga, nggak bisa kerja dengan maksimal, atau bahkan sekadar nggak bisa bangun dari tempat tidur. Tekanan ini sering bikin kita ngerasa nggak cukup baik, meskipun kita udah berusaha sekuat tenaga.

Ketika Orang Lain Menganggap Kita Abai

Salah satu hal yang bikin hati perih adalah ketika orang ngira kita nggak peduli atau nggak berusaha keras. Misalnya, kita nggak datang ke acara penting, padahal itu bukan karena kita nggak mau, tapi karena tubuh kita nggak memungkinkan. Tapi sayangnya, nggak semua orang bisa nerima alasan itu.

Kadang, ada juga yang ngerasa kita terlalu pilih-pilih. Misalnya, kita bisa datang ke acara tertentu, tapi absen di acara lain. Padahal, kondisi tubuh kita yang nentuin, bukan keinginan kita. Ada hari di mana kita merasa cukup kuat, tapi ada juga hari di mana berdiri aja susah.

Hal kayak gini bikin kita harus terus-menerus minta maaf, bahkan untuk sesuatu yang sebenernya nggak kita kontrol. Rasanya capek banget harus ngejelasin hal yang sama berulang-ulang, apalagi kalau ujung-ujungnya tetap nggak dipercaya.

Mengelola Ekspektasi Orang Lain

Salah satu tantangan besar hidup dengan autoimun adalah mengelola ekspektasi orang lain. Kadang, kita pengen banget kasih yang terbaik, tapi tubuh kita bilang, “Nggak bisa.” Kita tahu ini bikin orang lain kecewa, tapi kita juga nggak bisa memaksakan diri.

Masalahnya, banyak orang yang berharap kita bisa “normal” seperti mereka. Mereka nggak ngerti kalau tubuh kita punya batasan yang nggak bisa dilawan. Kalau kita nekat, itu malah bikin kondisi kita makin parah. Jadi, meskipun berat, kita harus belajar bilang “nggak” atau bikin prioritas yang sesuai sama kemampuan kita.

Tapi ya, bilang “nggak” itu juga nggak gampang. Kita takut dibilang egois atau nggak peduli. Padahal, ini bukan soal egois, tapi lebih ke menjaga kesehatan kita sendiri. Kalau kita nggak jaga diri, siapa lagi?

Support System yang Menguatkan

Di tengah semua tantangan ini, punya support system yang baik itu kayak oase di padang pasir. Teman atau keluarga yang benar-benar ngerti dan nggak nge-judge bisa bikin hidup kita jauh lebih ringan. Kadang, cuma butuh seseorang yang mau dengerin tanpa kasih komentar atau nasihat yang nggak kita butuhkan.

Support system ini juga bisa datang dari orang-orang yang punya kondisi serupa. Mereka lebih ngerti apa yang kita rasain karena mereka juga ngalamin hal yang sama. Grup dukungan atau komunitas autoimun jadi tempat di mana kita bisa merasa diterima tanpa harus ngejelasin panjang lebar.

Jadi, kalau kamu punya temen atau keluarga dengan kondisi kayak gini, jadilah support system yang baik. Percaya sama mereka, dengerin keluhan mereka, dan kasih ruang buat mereka jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.

Belajar Menerima dan Berdamai

Mungkin salah satu pelajaran terbesar yang kita dapat dari hidup dengan penyakit autoimun adalah belajar menerima. Nggak semua hal bisa kita kontrol, dan itu nggak apa-apa. Kadang, kita cuma perlu fokus sama apa yang bisa kita lakuin sekarang, tanpa terlalu mikirin ekspektasi orang lain.

Berdamai dengan tubuh yang sering “berkhianat” itu nggak gampang. Tapi semakin kita belajar nerima, semakin kita bisa menikmati hidup tanpa terlalu banyak tekanan. Kita juga belajar buat lebih jujur sama diri sendiri dan orang lain tentang apa yang kita rasain.

Dan yang paling penting, kita belajar buat menghargai hal-hal kecil yang sering dianggap remeh. Hari di mana tubuh kita cukup kuat buat jalan-jalan, nongkrong sama temen, atau sekadar nonton film favorit di rumah jadi momen yang berharga banget.

Mengubah Persepsi Orang

Hidup dengan penyakit yang nggak dipercaya banyak orang itu berat. Tapi kadang, kita juga punya tanggung jawab buat ngubah cara pandang mereka. Mungkin nggak semua orang akan ngerti, tapi kalau kita bisa bikin satu atau dua orang lebih paham, itu udah cukup.

Caranya? Dengan cerita. Kita bisa share pengalaman kita ke temen-temen atau lewat media sosial. Bukan buat cari perhatian, tapi buat kasih mereka gambaran tentang apa yang kita alami. Karena kadang, orang nggak ngerti bukan karena nggak peduli, tapi karena mereka nggak tahu.

Mungkin perjalanan ini nggak akan mudah, tapi setiap langkah kecil yang kita ambil bisa bikin perbedaan besar. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, stigma tentang penyakit yang “nggak kelihatan” ini bisa hilang sepenuhnya.

Hidup dengan penyakit autoimun itu penuh tantangan, tapi bukan berarti kita nggak bisa tetap bahagia. Dengan pengertian dari orang-orang sekitar dan usaha buat terus bertahan, kita bisa jalanin hidup ini dengan lebih baik. Kita nggak minta dikasihani, kita cuma pengen dimengerti. Dan itu, buat kita, udah cukup.

PasienSehat
PasienSehat Hai, saya pasien biasa yang suka nulis blog buat berbagi dan belajar bareng. Lewat tulisan ini, saya berharap kita bisa saling mendukung, bertukar ide, dan tumbuh bersama.

Posting Komentar untuk "Hidup dengan Penyakit yang Gak Dipercaya Banyak Orang"